Musim hujan tiba beberapa hari yang lalu. Aku cinta hujan,
mungkin karena aku tidak punya banyak pekerjaan. Setiap hujan turun, aku keluar
dan menyaksikannya seolah itu hujan yang sudah ditunggu-tunggu selama satu
tahun. Di sana selalu ada yang baru, ayam-ayam yang kedinginan, bekicot yang
keluar dari persembunyiannya, sampah yang terbawa aliran air berputar tidak
tentu arah. Hujan menyapu debu-debu di dedaunan, memandikan mereka dengan kasih
sayang. Dan sekarang aku di sini sendiri, mesti teringat teman-teman yang pergi
ke Jakarta mencari kebahagiaan. Mungkin mereka menemukannya mungkin juga tidak.
Aku ingin mendengar cerita mereka, bukan sekedar berita bahwa mereka sudah
menjadi pejabat, atau sudah punya anak dua. Aku ingin mendengar bagaimana
mereka mengejar kebahagiaan, mendekapnya dan takkan melepaskannya lagi.
Ruang-ruang kelas baru saja kosong. Beberapa waktu lalu
ruangan ini penuh cerita. Anak-anak SMA yang melihat dunia dengan cara yang
jauh berbeda dengan orang dewasa. Mereka tertawa dan menangis dan meributkan
hal-hal sepele. Aku ingin kembali ke masa itu dan mendengar pak guru bercerita
tentang apa saja. Anehnya sekarang merekalah yang memanggilku pak guru, dan aku
ingin bercerita pada mereka, menyelami pikiran mereka yang gundah karena ibu
dan bapak bertengkar, uang SPP belum dibayar, pulsa hampir habis, pacar selalu
cemburu tanpa alasan yang jelas. Manusia berbagi rasa dengan cerita.
Aku berbagi cerita dengan hujan. Ia selalu hadir untuk
mendengarkan ceritaku. Kukatakan padanya, kenapa kita harus ketemu, saling
berbagi dan kemudian berpisah. Kenapa kita harus mencari kebahagiaan di tempat
lain. Apakah kebahagiaan tidak pernah datang ke mari dan mengetuk pintumu suatu
ketika? Dan kemudian kau tidak pernah mengijinkannya pergi. Mungkin kebahagiaan
sudah bosan lalu meninggalkan kita seperti halnya keberanian kita berlalu di
bawah hujan mengejar capung yang hinggap dan terbang kembali. Apa yang merampas
keberanian, mimpi-mimpi dan kejujuran kita? Ongkos menjadi dewasa adalah
kehilangan segalanya. Aku pernah bermimpi memiliki sepeda, dengan sepeda itu
aku bisa pergi ke mana saja, mengelilingi dunia kecilku yang bisa kupahami, dan
akhirnya aku mendapatkan sepeda itu waktu sunatan. Selama seminggu sepeda itu
kuletakkan di samping tempat tidurku, kupandangi setiap malam hingga terbawa
dalam mimpi. Minggu berikutnya seiring waktu bejalan, segalanya sudah sangat
berbeda. Kebahagiaan telah meninggalkan sepedaku, yang akhirnya menjadi sekedar
besi dan roda yang dihubungkan dengan baut. Aku tidak mengerti.
Waktu kecil kita tidak bertanya kenapa, sekarang terlalu
banyak pertanyaan, terlalu banyak ketakutan. Untuk apa hujan-hujanan, gunakan waktumu
untuk bekerja dan bekerja agar sukses, dan orang-orang sudah tidak lagi
mendengar suara dalam dirinya sendiri. Memang demikianlah hidup berlangsung
dengan cepat dan panik, kita sedang membayangkan sebuah akhir yang tidak sukses
dan tidak menyenangkan, dan manusia bergegas tanpa tahu kenapa.
Posting Komentar 0 komentar: