Yang kita lihat disana bukanlah yang sebenarnya, namun itu
mengingatkan kita pada kenyataan, apa yang sesungguhnya terjadi. Ada jarak
antara realita dan persepsi kita pada realita yang kita saksikan lewat karya
fotografi. Jarak itu adalah seni. Pablo Picaso mengatakan bahwa seni adalah
kebohongan yang membuat kita menyaksikan kebenaran. Kenyataan yang kita yakini
barangkali hanyalah persepsi semata, tetapi beginilah hidup kita. Ada kebahagiaan
dalam setiap eksistensi, hingga barangkali tujuan manusia adalah eksistensi itu
sendiri, demikian juga kebahagiaan. Setiap hari manusia hidup dalam angan-angan
untuk hidup bahagia di kemudian hari, manusia bekerja, berperang, saling
membenci tanpa tahu apa yang sesungguhnya mereka cari. Kita tidak akan pernah
bahagia hidup seorang diri karena dengan demikian tidak akan ada manusia lain
yang mengagumi dan menganggap kita penting. Jadi dengan demikian, tujuan hidup
adalah kebahagiaan, nama lain dari eksistensi. Maka orang yang paling bahagia
adalah orang yang paling menyadari keberadaannya baik ia sebagai kuli ataupun
sebagai raja. Seluruh rasa dan emosi adalah rekaan dari otak kita, dengan kata
lain, kita adalah pencipta dunia kita sendiri. Seluruh ketakukan bila dirunut
ke belakang akhirnya bermuara pada takut akan hilangnya eksistensi, orang
takut, di tengah-tengah 7 milyar manusia ia hanya sebagai manusia. Mengapa kita
mesti membuat rumah yang mewah, duduk di mobil mahal, memiliki keluarga dan
anak-anak yang dikagumi orang, adalah karena kita mencari eksistensi yang lebih
kuat atas keberadaan kita. Karena orang-orang mengasosiasikan benda-benda pada
pemiliknya, maka orang-orang ingin memiliki banyak benda-benda, untuk
menguatkan eksistensinya. Ia harus membayar dengan waktu, energy, dan segalanya,
dan ia merasa puas. Tetapi selalu ada yang kurang karena eksistensinya
bergantung pada orang lain. Dalam War and Peace, mungkin saya salah
menafsirkan, Tolstoi berpendapat bahwa orang-orang hebat dan terkenal seperti
Napoleon hanyalah berperan sebagai penanda atau judul suatu peristiwa sejarah
dimana pelaku yang sebenarnya adalah orang-orang kebanyakan. Semua orang adalah
orang penting. Seperti sebuah karya fotografi, foto itu sendiri hanyalah
penanda yang mengantarkan kita pada kenyataan yang lebih besar dan fundamental,
yaitu gagasan apa yang ingin kita sampaikan lewat penanda tersebut.
Sekarang, orang-orang dengan membabi buta berlomba-lomba
untuk mengkonsumsi. Ia merasa tertinggal bila tidak berlari
sekencang-kencangnya, mengikuti tren mode, gadget, musik, film dan seterusnya. Orang-orang
dilahirkan dan dididik untuk menjadi snobis yang memandang dan menilai manusia
dari satu aspek saja. Bagi penggemar musik jazz barangkali para penggemar
dangdut adalah kumpulan orang-orang tidak berpendidikan, bagi para penggemar
karya sastra, mungkin menganggap para penggemar karya pop sebagai dangkal dan
rendah. Stereotype para snobis menurut moral tidak dapat dibenarkan meskipun
seringkali memang benar adanya. Dengan demikian kita berhadapan dengan masalah
yang lebih rumit dalam sosial budaya kita. Masalahnya adalah absennya filsasat
dalam kehidupan manusia modern menyebabkan masyarakat tenggelam dalam hegemoni
kapitalisme yang mengusung paham materi sebagai tujuan hidup. Salah satu dampak, dan menurut saya kegagalan,
kapitalisme adalah menciptakan manusia yang bekerja lebih keras dan lebih lama
untuk mengkonsumsi lebih banyak. Dan akhirnya manusia tetap merasa tidak
bahagia, seolah mereka tidak punya pilihan hidup yang lain. Manusia menciptakan
situasi yang sulit bagi dirinya sendiri.
Posting Komentar 0 komentar: