Friendship

Friendship
Friendship

Into the Wild

Adventure

Minggu, 23 Desember 2012

0 eksistensialisme; apakah kebahagiaan kita bergantung pada pengakuan orang lain?



Yang kita lihat disana bukanlah yang sebenarnya, namun itu mengingatkan kita pada kenyataan, apa yang sesungguhnya terjadi. Ada jarak antara realita dan persepsi kita pada realita yang kita saksikan lewat karya fotografi. Jarak itu adalah seni. Pablo Picaso mengatakan bahwa seni adalah kebohongan yang membuat kita menyaksikan kebenaran. Kenyataan yang kita yakini barangkali hanyalah persepsi semata, tetapi beginilah hidup kita. Ada kebahagiaan dalam setiap eksistensi, hingga barangkali tujuan manusia adalah eksistensi itu sendiri, demikian juga kebahagiaan. Setiap hari manusia hidup dalam angan-angan untuk hidup bahagia di kemudian hari, manusia bekerja, berperang, saling membenci tanpa tahu apa yang sesungguhnya mereka cari. Kita tidak akan pernah bahagia hidup seorang diri karena dengan demikian tidak akan ada manusia lain yang mengagumi dan menganggap kita penting. Jadi dengan demikian, tujuan hidup adalah kebahagiaan, nama lain dari eksistensi. Maka orang yang paling bahagia adalah orang yang paling menyadari keberadaannya baik ia sebagai kuli ataupun sebagai raja. Seluruh rasa dan emosi adalah rekaan dari otak kita, dengan kata lain, kita adalah pencipta dunia kita sendiri. Seluruh ketakukan bila dirunut ke belakang akhirnya bermuara pada takut akan hilangnya eksistensi, orang takut, di tengah-tengah 7 milyar manusia ia hanya sebagai manusia. Mengapa kita mesti membuat rumah yang mewah, duduk di mobil mahal, memiliki keluarga dan anak-anak yang dikagumi orang, adalah karena kita mencari eksistensi yang lebih kuat atas keberadaan kita. Karena orang-orang mengasosiasikan benda-benda pada pemiliknya, maka orang-orang ingin memiliki banyak benda-benda, untuk menguatkan eksistensinya. Ia harus membayar dengan waktu, energy, dan segalanya, dan ia merasa puas. Tetapi selalu ada yang kurang karena eksistensinya bergantung pada orang lain. Dalam War and Peace, mungkin saya salah menafsirkan, Tolstoi berpendapat bahwa orang-orang hebat dan terkenal seperti Napoleon hanyalah berperan sebagai penanda atau judul suatu peristiwa sejarah dimana pelaku yang sebenarnya adalah orang-orang kebanyakan. Semua orang adalah orang penting. Seperti sebuah karya fotografi, foto itu sendiri hanyalah penanda yang mengantarkan kita pada kenyataan yang lebih besar dan fundamental, yaitu gagasan apa yang ingin kita sampaikan lewat penanda tersebut.
Sekarang, orang-orang dengan membabi buta berlomba-lomba untuk mengkonsumsi. Ia merasa tertinggal bila tidak berlari sekencang-kencangnya, mengikuti tren mode, gadget, musik, film dan seterusnya. Orang-orang dilahirkan dan dididik untuk menjadi snobis yang memandang dan menilai manusia dari satu aspek saja. Bagi penggemar musik jazz barangkali para penggemar dangdut adalah kumpulan orang-orang tidak berpendidikan, bagi para penggemar karya sastra, mungkin menganggap para penggemar karya pop sebagai dangkal dan rendah. Stereotype para snobis menurut moral tidak dapat dibenarkan meskipun seringkali memang benar adanya. Dengan demikian kita berhadapan dengan masalah yang lebih rumit dalam sosial budaya kita. Masalahnya adalah absennya filsasat dalam kehidupan manusia modern menyebabkan masyarakat tenggelam dalam hegemoni kapitalisme yang mengusung paham materi sebagai tujuan hidup.  Salah satu dampak, dan menurut saya kegagalan, kapitalisme adalah menciptakan manusia yang bekerja lebih keras dan lebih lama untuk mengkonsumsi lebih banyak. Dan akhirnya manusia tetap merasa tidak bahagia, seolah mereka tidak punya pilihan hidup yang lain. Manusia menciptakan situasi yang sulit bagi dirinya sendiri.

Posting Komentar 0 komentar:

Posting Komentar