Friendship

Friendship
Friendship

Into the Wild

Adventure

Jumat, 18 Maret 2011

1 Hujan di Atas Aspal

Aku menganggap semua orang pernah bersahabat dengan hujan, ketika kecil. Tetes-tetes air yang menyimpan banyak kenangan ketika orang-orang tiba-tiba menjadi dewasa selalu berhasil memunculkan perasaan ganjil ketika hujan itu turun.
Beberapa tahun yang lalu, seorang teman di sma meninggal karena kecelakaan. Ketika hendak berangkat bekerja pada malam hari di kantor pln kota kecil dimana aku tinggal sekarang, teman itu melaju dengan kencang, dan hujan yang telah membasahi jalanan membuatnya terlempar saat ia mencoba menghindari kendaraan lain dari arah berlawanan. Tidak lama kemudian, seorang teman sepermainan masa kecil juga meninggal karena kecelakaan dengan sebab yang hampir sama. Saksi yang melihat langsung berkata ia melihat isi kepala yang terburai di jananan basah.
Sejak saat itu cintaku pada hujan telah jauh luntur. Aku yang setiap hari harus menempuh jarak empat puluh kilometer ke tempat kerja juga tidak jarang terperosok lobang-lobang di jalan karena tergenang air hujan. Akan tetapi hujan tidak pernah berhenti turun hari-hari ini. Cucian tidak kering dan berbau apek. Juga meyihirkan rasa malas untuk pergi ke luar ruangan. Berita di koran pagi bercerita tentang hujan yang menumbangkan pohon-pohon di pinggir jalan raya di jakarta, tentang banjir yang menuntut banyak korban di berbagai daerah, tentang banjir terbesar selama seratus tahun di australia. Koran selalu saja menulis berita buruk setiap hari.
Kenapa harus demikian? Tanyaku pada hujan yang membisu dan senantiasa membungkam suara-suara lain hingga suasana seolah sepi dan hening. Anak-anak kecil sekarang tidak lagi senang pada hujan. Orang tua mereka telah mengajarkan bahwa hujan adalah pembawa penyakit flu dan demam, jauhilah hujan. Dan hujan tidak pernah berhenti turun akhir-akhir ini.
Rasa cintaku pada hujan telah jauh menghilang. Lubang-lubang di jalan yang semakin lebar dan banyak telah pula berbisik-bisik agar aku membenci hujan. Tetapi bagaimanakah aku harus membenci hujan? Suatu kali salah seorang hujan telah menahanku pada sebuah bangunan besar perpustakaan tempatku kuliah. Suasana menjadi begitu sepi dan dingin. Saat itulah pertama kali seorang perempuan menyodorkan bibirnya yang panas ke bibirku yang dingin. Suatu ketika yang lain hujan menemaniku ketika aku patah hati. Perasaanku yang panas terbakar cemburu dan kecewa telah coba didinginkannya dengan guyuran yang lebat dan keheningan yang menenangkan.
Saat itu aku begitu cinta hujan. Sekarang cintaku telah jauh berkurang karena hujan selalu jatuh di atas aspal.

Kamis, 03 Maret 2011

5 Sebatang Rokok

Sebatang rokok tergeletak di bangku taman. Tak ada yang tahu sudah berapa lama ia tergeletak di sana, namun seperti berbicara dengan bahasa universal, sebatang rokok itu mengatakan bahwa ia belum lama berada di sana. Hingga akan ada kemungkinan seseorang kembali untuk mengambilnya.
Seorang banci menangkap isyarat itu, menengok ke kiri dan kanan kemudian dengan sigap mengambil dan menghantarkan rokok itu ke bibirnya yang hitam kemerahan. Adegan itu begitu dihayati dan dinikmatinya seolah memang ada sensasi tertentu. Beberapa detik kemudian banci itu mematikan rokoknya dan buru-buru pergi karena dari kejauhan ia melihat pria berseragam yang dalam pikirannya pasti sedang mengoperasi orang-orang seperti dirinya. Rokok itu tergeletak begitu saja di tempat yang sama, hanya posisinya sedikit bergeser.
Beberapa waktu kemudian seorang preman lewat bangku itu. Matanya yang jelalatan menangkap sekilas pantulan cahaya yang berasal dari sebatang rokok tersebut. Ia telah melewati bangku itu beberapa langkah, namun ia kembali untuk pura-pura membetulkan tali sepatunya. Diangkatnya satu kaki ke bangku kemudian melepas dan mengikat tali sepatunya kembali sembari celingukan apakah ada orang yang memperhatikan. Dan ketika ia yakin tak seorag pun memperhatikannya, segera disambarnya rokok itu dan dengan gaya premannya ia memasukkan sebatang rokok yang sudah dihisap beberapa millimeter itu ke mulutnya yang hitam dan dikelilingi oleh rambut-rambut kaku yang lebat.
Tak lama kemudian, setelah menghadapi siksaan preman itu, sebatang rokok tinggal gabusnya, sudah tinggal puntung. Setelah kenikmatannya dihisap habis, ia dibuang begitu saja, tergeletak di antara sampah-sampah plastic dan daun-daun yang bertebaran di mana-mana. Tak jauh dari tempat itu sebenarnya ada papan cukup besar bertuliskan dilarang membuang sampah sembarangan. Di Indonesia, khususnya di taman itu, tanda tersebut masih rancu. Siapa yang melarang, siapa yang dilarang, apa itu sampah, dan apa itu sembarangan. Si preman menjatuhkan puntung rokok ke tanah tidak bisa dianggap membuang sampah sembarangan. Puntung rokok dan sampah, tanah dan sembarangan tidak begitu saja identik.
Tak lama kemudian seorang pengumpul puntung mengambil puntung tersebut. Ia biasa mengumpulkan sisa-sisa tembakau dari puntung-puntung yang diperolehnya untuk dibuat rokok lagi. Rokok kelas dua yang biasa dihisap para kuli, para mahasiswa, para pengangguran dan orang-orang pegawai yang mau mengirit.
Puntung itu dibuka bersama puntung-puntung lainnya. Pak tua pemungut puntuk menyembunyikan rasa kecewanya karena dari puntung yang baru itu hampir tidak tersisa apa pun kecuali bau dan sampah gabus.
Di bangku yang tadi tergeletak sebatang rokok kini diamati oleh seorang anak muda yang penampilannya modern dan nampak terpelajar. Dengan mudah orang-orang akan mengenalinya sebagai mahasiswa. Wajahnya menyiratkan keraguan bahwa mungkin sebatang rokoknya terjatuh di bangku itu. Ia melongok ke kolong sesaat dan menyadari bahwa rokok itu bisa jatuh kapan saja dan di mana saja. Ia harus bisa melupakan rokok itu dan mengikhlaskan pada siapa pun yang menemukannya atau menghisapnya. Tapi bagaimanapun ia baru saja makan siang, dan rokok adalah penutup yang selalu memberi sensasi enak pada makanan itu dan perasaan positip sepanjang hari. Kini rokok itu seperti sesuatu yang paling berharga sepanjang hari itu. Oleh karenanya ia menjadi malas masuk kuliah. Dengan segan ia masuk kamar kosnya yang berantakan dengan puntung rokok tergeletak di sana-sini. Dihempaskannya tubuhnya ke kasur lantai dan di sana ia mengutuk hari itu.

1 Sebuah Ingatan

Satu perjalanan telah usai, hidup kembali seperti semula. Rutinitas sehari-hari yang membosankan. Para petani pergi ke sawah pagi hari, para pedagang pergi ke pasar seperti sedia kala, para pegawai negeri dan anak-anak sekolah tidak ketinggalan menyemarakkan suasana pagi yang biasa itu, juga para kuli, pengamen, orang-orang yang sekedar datang dan pergi menyusuri jalan raya menambah keruwetan negeri yang masih miskin ini. Bunyi klakson, musik, teriakan-teriakan kernet mencari penumpang, pedagang asongan yang menjajakan makanan, berbaur menjadi satu, bau asap knalpot beribu motor dan mobil, parfum berbagai merk, comberan yang tergenang, ikut menyemarakkan pagi itu. Namun tidak lama setelah itu, hanya satu jam kemudian, drama hidup jalan raya itu telah berganti babak, panas menyengat, hanya satu dua orang yang berlalu lalang melewati jalan raya.
Darman dan Arul dan Novian pagi ini tidak menyaksikan drama itu. Sebuah adegan tidak menarik yang telah mengendap di benak mereka. Ketiga pemuda itu masih tertidur pulas di lantai dengan posisi yang tidak beraturan. Kaki Darman dekat kepala Arul, kaki Arul dekat kepala Novian. Mereka biasa tidur bersaling silang mencari sedikit ruang kosong di kamar sempit itu. Ketika membuka mata, Darman sekilas teringat ketika ia turun gunung Ungaran dengan kedua sahabatnya itu, mereka berlomba berlari, sebenarnya hanya iseng saja, sekarang akibatnya telah mereka rasakan sendiri. Ia menutup kedua matanya kembali, memutuskan melewatkan pagi itu berlalu begitu saja. Biarlah orang-orang membanting tulang pagi itu dan mendapatkan apa yang ingin mereka dapatkan.
Rutinitas kehidupan kampus dijalaninya selama lima tahun. Datang terlambat ke kampus, mengkopi tugas dari Lia atau Ruti, teman-temannya yang rajin, dan kemudian merasa bosan dengan rutinintas itu. Sesekali ia dan teman-temannya pergi ke Kota Lama di tengah malam. Kota Lama adalah sebuah daerah pinggiran pelabuhan di Semarang. Kota ini saksi pendudukan Belanda di Indonesia selama 350 tahun. Arsitek dan tata kota khas eropa yang sangat indah dan tua menunjukkan kebijaksanaannya, menerima siapa saja yang datang ke sana dan mengadukan kegundahan hati dan penderitaanya, seperti seorang Bapa mendengarkan pengakuan dosa. Ada dua tempat yang sering dikunjungi Darman dan teman-temannya di Kota Lama, Gereja Blenduk dan Kolam Besar entah apa namanya. Gereja itu begitu besar, kokoh dan keramat. Di samping kirinya terdapat taman kecil yang nyaman. Sementara kolam itu juga sangat luas seluas lapangan bola dan juga tua. Di sekeliling kolam ditanami pohon-pohon dan dilengkapi dengan tempat duduk yang juga sangat nyaman di malam hari. Dari pinggir kolam itu Darman duduk menyaksikan lampu-lampu kota yang berpijar, lampu-lampu mobil yang berlalu-lalang di sekitar tempat itu. Ia melamun dan merenungkan hidupnya yang selalu terbuang percuma.
Ketika bersama-sama seperti itu mereka selalu membicarakan kasih yang tak sampai, beban hidup yang tak pasti, dan masa depan yang abu-abu. “Mau jadi apa orang-orang seperti kita ini kelak. Jadi guru tidak pantas, jadi pegawai juga tidak mungkin, bangun siang, selalu terlambat kuliah, yang dilakukan cuma keluyuran saja.” Kata Arul dengan khas senyumnya yang lucu. “Kita bisa jadi apa saja, kuli bisa, guru bisa, guide, pengusaha, sembaranglah.” Jawab Darman. Ia menatap air keruh di hadapannya yang memantulkan lampu-lampu kota.
Pembicaraan terus berlangsung, melompat-lompat ke topic yang lain, khas pembicaraan laki-laki, ketika malam semakin larut, mereka kembali ke kontrakan mereka di sekitar kampus. Di tengah jalan mereka selalu mampir ke warung nasi kucing Pak Untung.
Maka kehidupan akademik mereka bisa dibagi menjadi empat tempat, kampus, kontrakan, Kota Lama, warung nasi kucing Pak Untung.
Warung nasi kucing Pak Untung berjarak 15 menit perjalanan dari kontrakan. Warung ini terletak di tengah-tengah perumahan di Sampangan. Untuk ke warung ini, Darman dan teman-temannya harus melewati tanjakan maut yang begitu panjang dan curam, jalannya pun bergelombang dan berbahaya. Namun semua itu tidak menyurutkan hasrat mereka pada nasi bungkus seharta 1500 rupiah itu, sedangkan ke kampus yang jaraknya hanya lima menit dari kontrakan, mereka sering enggan dan bolos kuliah. Warung itu adalah salah satu keajaiban dunia di kalangan para mahasiswa UNNES, karena nasi ati nya yang sangat enak dan murah. Warung nasi kucing lain bertebaran di sepanjang jalan raya tetapi mereka semua hanyalah warung nasi kucing kebanyakan.
***
Darman bangun dalam kesendiriannya di bulan Desember yang dingin. Tidak penting lagi apakah ia meninggalkan teman-temannya atau mereka meninggalkannya. Ia samar-samar mengingat kejadian-kejadian masa lalu bersama teman-temannya. Namun masa lalu adalah masa yang begitu jauh karena bagaimanapun menginginkannya ia takkan bisa kembali ke sana.
Berulang kali ia berpikir, barangkali memang demikian jalan hidupnya namun ia tak ingin sebuah kata menaklukkan seluruh hidupnya. Ia telah lama yakin bahwa kata-kata memiliki jiwa yang bisa mempengaruhi jiwa manusia. Satu kata saja bisa menghancurkan hidup seseorang dan juga pada saat yang sama membuat orang lain hidup bahagia. Ia sudah mengetahui beberapa kata ajaib itu. Ia selalu waspada dan berhati-hati untuk menggunakannya, takdir, cinta, janji, tuhan, ya, dan tidak. Dan ia juga tahu setiap kata yang lainnya juga berpotensi menjadi kuat, ambisi, malu, harus, bosan...
***
Hujan turun hampir setiap hari, setiap tetesnya adalah kesedihan yang mewakili hidupnya. Ia berdiri di ambang pintu melihat tetes-tetes hujan jatuh dan mengalir, dan sebagian terperangkap pada daun-daun, kaleng-kaleng bekas coca cola, plastic bekas makanan ringan yang dibuang begitu saja oleh anak-anak sekolah di pinggir jalan. Ia juga membayangkan beberapa kesedihannya terperangkap pada beberapa orang .
Ketika ia memejamkan matanya ia bisa merasakan bibir perempuan itu di bibirnya. Sebuah kehangatan yang selalu memeluknya dari hujan yang begitu dingin dan sepi yang menikam. Ia masih bisa menghadirkan ingatan saat itu karena ia tidak membiarkan ingatan lain menindihnya.
Ia pernah berpikir apakah ia orang yang jahat karena meminta satu ciuman dari seorang perempuan yang telah bersuami. Tapi adakah manusia yang sepenuhnya baik tanpa melakukan kejahatan dalam hidupnya, bahkan dalam hatinya? Setidaknya ia telah jujur dan memintanya dengan baik-baik. Dan perempuan itu menatapnya dengan kasih sayang, seolah berkata, kau berhak mendapatkannya dari orang lain. Namun ia memberikan ciuman itu tanpa alasan yang ia pahami. Barangkali ia juga ingin tahu seberapa dalam pemuda itu mencintainya. Ia biasa menyaksikannya setiap hari melakukan apa saja yang dimintanya, hal-hal biasa dalam persahabatan. Ketika tatapan mereka bertemu ia bisa merasakan ketulusan pemuda itu. “bila memang demikian adanya, aku akan memberikan sedikit kebahagiaan itu,” pikirnya dalam hati. Hanya dalam hati.
Dan Darman sekarang telah membuka mata dalam usia yang begitu renta. Tubuhnya yang kecil itu telah rapuh dan pandangan matanya—seperti segala hal yang berharga dalam hidupnya—mulai meninggalkannya. Ia berdiri di ambang pintu menatap tetes-tetes hujan yang sama ketika ia masih muda. Bagaimanakah kabar perempuan yang baik itu? Bisiknya pada hujan. Ia pernah berjanji akan menceritakan kisah hidupnya pada hari ulang-tahun perempuan itu setiap tahun. Dan beberapa tahun ini ia tidak lagi mengirim cerita-ceritanya. Ia bercerita di depan batu itu sambil meneteskan titik-titik air matanya yag deras seperti hujan saat itu. Ia berpikir perempuan itu takkan pernah tahu seberapa dalam cintanya. Ia hanya berharap hujan yang merembes ke tanah itu menyampaikan perasaannya suatu ketika.

0 Nyanyian Burung Pipit

Bumi terasa semakin panas. Hamparan padi yang mongering dan rumput-rumput yang berwarna coklat di mana-mana. Angin berhembus membawa suhu panas ke tempat-tempat yang jauh. Seekor burung pipit melayang-layang terbawa angin memanggil-manggil kawan-kawannya yang mendahuluinya.
Seorang anak muda berada di bawah pohon sengon memperhatikan sawah dihadapannya yang kering kerontang. Tidak ada yang bisa ia lakukan untuk menyelamatkan tanaman padinya yang mongering. Sia-sia sudah jerih payahnya selama dua bulan ini. Anak isterinya di rumah telah mulai makan singkong karena persediaan beras telah habis berhari-hari yang lalu. Ia berpikir, bertanya dalam hati, apa yang telah ia perbuat hingga tuhan berlaku demikian padanya. Kerja keras yang sia-sia membuatnya kehilangan semangat untuk hidup. Ia enggan pulang melihat anak isterinya kelaparan. Tatapan mereka seolah menuntutnya sebagai laki-laki untuk bertanggungjawab atas semua yang menimpa keluarga kecil mereka. Isterinya tidak pernah sekalipun mengeluh, namun hal itu tidak mengurangkan deritanya melihat cekung mata wanita yang paling dikasihinya. Dulu ia pernah berjanji bahwa ia akan memberikan hidup yang berkecukupan dan kebahagiaan yang berlimpah.
Ia terus memandangi hamparan sawahnya yang menguning rumput dan pepohonan di sejauh mata memandang. Merasakan itu semua sebagai sebuah mimpi buruk yang mungkin akan berakhir esok pagi. Bila hidup adalah tentang kerja keras, apakah yang kurang dilakukannya? Keluhnya dalam hati. Para petani seperti dirinya selalu bangun sebelum fajar, bersembahyang dipagi buta memohon panen yang melimpah, kemudian setelah shalat subuh ia menuju ke sawah untuk mencangkul dan merawat tanaman yang ada. Ketika hari mulai terik, sekitar waktu dhuhur ia pulang untuk istirahat sejenak, kemudian pergi ke sawah lagi setelah ashar, hingga matahari terbenam barulah ia beranjak pulang. Dari tahun ke tahun hidup semacam itu dijalaninya dengan iklhas, namun semakin lama hasil panen semakin menurun. Sungai-sungai mulai berkurang debit airnya. Ia tahu dan samar-samar mendengar tentang pemanasan global dari orang-orang maupun dari televisi, namun sebenarnya ia tidak benar-benar mengerti. Dunianya adalah sawah, dan rumah kecilnya.
Telah lama ia merasa ada yang tidak beres dengan hidup ini. Para petani yang selalu bekerja keras selalu hidup dalam garis kemiskinan. Sementara orang-orang lain yang tidak bekerja keras mendapat hidup yang berkecukupan. Di kota—suatu kali ia pernah pergi ke sana, tidak ada petani dan tidak ada sawah. Hanya ada jalan besar dan bagunan-bangunan yang tinggi. Orang-orang memakai pakaian bagus, mobil mewah, dan memiliki apa saja. Pekerjaan mereka hanya duduk-duduk di layar mirip televisi yang mereka sebut komputer. Mereka tidak perlu kepanasan dan tidak perlu bangun pagi.
Pernah ia iri pada orang-orang kota itu, tetapi otaknya tidak sanggup membayangkan apa yang akan dilakukannya di kota, bagaimana ia bisa menghidupi keluarganya di sana. Ia tidak bersekolah ketika masih anak-anak. Orang tuanya menganggap bahwa sekolah itu membuat anak menjadi pemalas dan pemimpi. Asalkan bisa membaca dan menulis, itu sudah lebih dari cukup. Dan hasilnya ia telah bekerja membantu orang tuanya sejak kecil. Ia bisa melakukan pekerjaan apa saja, dari menyabit rumput, memanjat pohon kelapa, menjadi kuli panggul, apa saja yang bisa dilakukan orang-orang desa, ia bisa melakukannya dengan sangat baik. Ia diajarkan untuk bekerja keras pada waktu muda agar di waktu tua hidup enak. Orang tuanyapun menikahkannya di usia delapan belas tahun. Kata mereka, menikahlah selagi muda, selagi kuat mengurus anak dan isteri, jangan sampai, sudah tua baru mengurus anak. Semua itu kedengaran masuk akal baginya. Dan sekarang pada usianya yang baru dua puluh tujuh tahun itu, ia sudah punya tiga orang anak. Anak yang paling besar sudah berumur sembilan tahun. Ketika kebutuhan hidup sedang begitu besar, demikianlah keadaannya, ia hanya bisa berdiri di tengah-tengah kekeringan yang mendera. Dan apakah yang harus dilakukannya sekarang? Rintihnya dalam hati.
Setiap kali ia teringat anak dan isterinya, dadanya seolah menjadi sesak. Entah mengapa ia menjadi gampang marah pada meeka.
Beberapa hari ini isterinya minta ijin untuk bekerja ke negeri tetangga sebagai pembantu. Ia merasa ditampar oleh isterinya dengan permintaan tersebut karena hal itu berarti suatu pengakuan bahwa ia tidak mampu menjadi kepala keluarga yang baik. Harga dirinya seakan telah terkoyak. Selain daripada itu, ia sering mendengar berita yang tidak menyenangkan mengenai para istri yang bekerja sebagai pembantu rumahtangga di negeri tetangga. Banyak yang pulang dengan membawa aib, dan banyak juga yang tidak pernah pulang. Meskipun juga tidak sedikit yang berhasil membawa uang yang cukup untuk membangun sebuah rumah.
Angin yang panas berhembus menerpa wajahnya, ia tidak menghiraukannya. Daun-daun rontok beterbangan dibawa angin. Bunga-bunga pohon waru berwarna kuning keemasan berputar-putar di angkasa.
Inikah makna hidup ini? Batinnya mengeluh. Lamunannya melayang jauh ke atas langit membayangkan tuhan sedang berbuat sesuatu untuk orang-oang seperti dirinya. Diambilnya sebatang rokok buatannya sendiri dari saku celananya. Beberapa saat kemudian asap mengepul dari mulut dan hidungnya. Ia memejamkan mata seolah sedag berkonsentrasi untuk memecahkan masalah yang begitu sulit. Ia teringat teman-temann masa kecilnya, mereka telah satu demi satu meninggalkan tempat ini, tanah kelahiran mereka, untuk pergi ke kota, sebagian pergi ke pulau lain. Baginya sendiri, tanah kelahirannya adalah segalanya. Suatu tepat dimana segala suka duka dijalaninya dengan ikhlas. Ia begitu percaya pada tanah ini, yang selama ini selalu menopang hidupnya. Kini ketika keyakinannya telah dibalas dengan kegagalan yang bertubi-tubi, ia mulai berpikir untuk meninggalkan tanah ini.
Pikiran semacam ini telah mulai mengganggunya beberapa bulan sebelumnya, akan tetapi baginya tidak semudah itu. Ia tidak mengenal dunia lain selain tanah kelahirannya.
Ia pernah beberapa kali pergi ke kota, sekali menengok saudara yang berada di rumah sakit. Betapa ia masih ingat perasaannya waktu itu, menjadi orang asing dan tidak tahu harus bersikap. Bila sendirian waktu itu, ia yakin tidak akan bisa kembali karena ia tidak tahu bagaimana menggunakan lift dan bagaimana menemukan ruangan di antara ratusan ruangan yang sama. Ia begitu malu untuk bertanya, takut orang-orang memandang rendah dirinya.
Matahari telah mulai condong ke barat, burung-burung melintas dari tempat yang jauh dalam rombongan-rombongan. ia berpikir, darimanakah mereka dan akan kemana? Bagaimanakah burung-burung itu menemukan sarangnya di antara jutaan pohon di dunia ini? Bagi burung-burung, hidup ini pastilah sangat indah. Apakah burung-burung terikat pada tanah kelahiran? Merasa hangat dengan kenangan-kenangan masa kecil. Meskipun kenangan itu mulai pudar, namun perasaan yang akrab tetap tinggal. Rumahku adalah surgaku, demikian nasihat orang-orang tua.
Sampai detik ini ia belum menemukan solusi masalah yang dihadapinya. Waktu seakan terasa lebih cepat berlalu saat ini dibandingkan ketika ia masih kecil. Perutnya berbunyi, mengingatkannya pada anak istri di rumah. Apa yang dilakukannya, pikinya. Hanya berdiri menyesali nasib, memandangai tanah yang telah meluluhlantakkan keyakinannya pada segala yang diyakininya sejak kecil. Dadanya kembali terasa sesak, seolah-olah oksigen tiba-tiba menghilang dari tempat itu. Ia tahu bahwa ia harus merelakan isterinya untuk pergi. Harga dirinya sebagai seorang suami, seorang laki-laki yang tidak mempu memberikan nafkah yang cukup pada keluarga telah lama terkikis oleh rasa lapar yang bertambah setiap hari.
Dia tidak memiliki apa-apa lagi, ia tidak tahu bila masalah seperti ini memiliki jalan keluar yang lebih bersahabat. Inikah yang disebut takdir itu? bisiknya dalam hati, kehendak tuhan yang sudah ditulis sejak manusia belum diciptakan. Dalam hati kecilnya ia merasa tidak adil namun ajaran agama yang diyakininya selama ini membuatnya tidak berani mengungkapkannya meskipun dalam batin.
Pada titik ini ia ingin berteriak sekeras-kerasnya untuk melepaskan beban di hati. Tetapi ia yang sejak kecil tidak pernah melakukannya, juga tidak bisa melakukannya sekarang meskipun sangat ingin. Ada sesuatu dalam idirinya yang menghalanginya berbuat demikian.
Aku harus berteriak, pikirnya dalam hati. Ini adalah titik balik yang harus kulalui. Kemudian ia berdehem-dehem membersihkan kerongkongannya dan bersiap untuk berteriak. Akan tetapi manusia adalah budak dari kebiasaannya. Ia malu kalau ada orang yang mendengar. Apa gunanya berteriak, gumamnya untuk membela harga dirinya yang jatuh di hadapannya sendiri.
Burung-burung pipit terbang melintas, kadang dalam rombongan yang besar kadang satu atau dua. Burung-burung itu nampaknya akan kembali ke sarang mereka, berkumpul dengan anak-anaknya. Hari sudah sore, langit mulai memerah karena matahari mulai tenggelam. Ia pun harus pulang menatap anak isterinya yang menantinya di rumah.
Dengan langkah gontai, laki-laki itu meninggalkan tempatnya berdiri. Dari belakang tampak tubuhnya yang kurus seakan terbawa angin yang bertiup cukup kencang membawa aroma-aroma yang khas namun entah apa. Dari kejauhan orang-orang sepertinya juga mulai beranjak pulang. Ada yang membawa kayu bakar, ada juga yang membawa sekeranjang rumput. Laki-laki itu sendiri tidak membawa apa-apa selain kesedihan yang semakin menikam.