Satu perjalanan telah usai, hidup kembali seperti semula. Rutinitas sehari-hari yang membosankan. Para petani pergi ke sawah pagi hari, para pedagang pergi ke pasar seperti sedia kala, para pegawai negeri dan anak-anak sekolah tidak ketinggalan menyemarakkan suasana pagi yang biasa itu, juga para kuli, pengamen, orang-orang yang sekedar datang dan pergi menyusuri jalan raya menambah keruwetan negeri yang masih miskin ini. Bunyi klakson, musik, teriakan-teriakan kernet mencari penumpang, pedagang asongan yang menjajakan makanan, berbaur menjadi satu, bau asap knalpot beribu motor dan mobil, parfum berbagai merk, comberan yang tergenang, ikut menyemarakkan pagi itu. Namun tidak lama setelah itu, hanya satu jam kemudian, drama hidup jalan raya itu telah berganti babak, panas menyengat, hanya satu dua orang yang berlalu lalang melewati jalan raya.
Darman dan Arul dan Novian pagi ini tidak menyaksikan drama itu. Sebuah adegan tidak menarik yang telah mengendap di benak mereka. Ketiga pemuda itu masih tertidur pulas di lantai dengan posisi yang tidak beraturan. Kaki Darman dekat kepala Arul, kaki Arul dekat kepala Novian. Mereka biasa tidur bersaling silang mencari sedikit ruang kosong di kamar sempit itu. Ketika membuka mata, Darman sekilas teringat ketika ia turun gunung Ungaran dengan kedua sahabatnya itu, mereka berlomba berlari, sebenarnya hanya iseng saja, sekarang akibatnya telah mereka rasakan sendiri. Ia menutup kedua matanya kembali, memutuskan melewatkan pagi itu berlalu begitu saja. Biarlah orang-orang membanting tulang pagi itu dan mendapatkan apa yang ingin mereka dapatkan.
Rutinitas kehidupan kampus dijalaninya selama lima tahun. Datang terlambat ke kampus, mengkopi tugas dari Lia atau Ruti, teman-temannya yang rajin, dan kemudian merasa bosan dengan rutinintas itu. Sesekali ia dan teman-temannya pergi ke Kota Lama di tengah malam. Kota Lama adalah sebuah daerah pinggiran pelabuhan di Semarang. Kota ini saksi pendudukan Belanda di Indonesia selama 350 tahun. Arsitek dan tata kota khas eropa yang sangat indah dan tua menunjukkan kebijaksanaannya, menerima siapa saja yang datang ke sana dan mengadukan kegundahan hati dan penderitaanya, seperti seorang Bapa mendengarkan pengakuan dosa. Ada dua tempat yang sering dikunjungi Darman dan teman-temannya di Kota Lama, Gereja Blenduk dan Kolam Besar entah apa namanya. Gereja itu begitu besar, kokoh dan keramat. Di samping kirinya terdapat taman kecil yang nyaman. Sementara kolam itu juga sangat luas seluas lapangan bola dan juga tua. Di sekeliling kolam ditanami pohon-pohon dan dilengkapi dengan tempat duduk yang juga sangat nyaman di malam hari. Dari pinggir kolam itu Darman duduk menyaksikan lampu-lampu kota yang berpijar, lampu-lampu mobil yang berlalu-lalang di sekitar tempat itu. Ia melamun dan merenungkan hidupnya yang selalu terbuang percuma.
Ketika bersama-sama seperti itu mereka selalu membicarakan kasih yang tak sampai, beban hidup yang tak pasti, dan masa depan yang abu-abu. “Mau jadi apa orang-orang seperti kita ini kelak. Jadi guru tidak pantas, jadi pegawai juga tidak mungkin, bangun siang, selalu terlambat kuliah, yang dilakukan cuma keluyuran saja.” Kata Arul dengan khas senyumnya yang lucu. “Kita bisa jadi apa saja, kuli bisa, guru bisa, guide, pengusaha, sembaranglah.” Jawab Darman. Ia menatap air keruh di hadapannya yang memantulkan lampu-lampu kota.
Pembicaraan terus berlangsung, melompat-lompat ke topic yang lain, khas pembicaraan laki-laki, ketika malam semakin larut, mereka kembali ke kontrakan mereka di sekitar kampus. Di tengah jalan mereka selalu mampir ke warung nasi kucing Pak Untung.
Maka kehidupan akademik mereka bisa dibagi menjadi empat tempat, kampus, kontrakan, Kota Lama, warung nasi kucing Pak Untung.
Warung nasi kucing Pak Untung berjarak 15 menit perjalanan dari kontrakan. Warung ini terletak di tengah-tengah perumahan di Sampangan. Untuk ke warung ini, Darman dan teman-temannya harus melewati tanjakan maut yang begitu panjang dan curam, jalannya pun bergelombang dan berbahaya. Namun semua itu tidak menyurutkan hasrat mereka pada nasi bungkus seharta 1500 rupiah itu, sedangkan ke kampus yang jaraknya hanya lima menit dari kontrakan, mereka sering enggan dan bolos kuliah. Warung itu adalah salah satu keajaiban dunia di kalangan para mahasiswa UNNES, karena nasi ati nya yang sangat enak dan murah. Warung nasi kucing lain bertebaran di sepanjang jalan raya tetapi mereka semua hanyalah warung nasi kucing kebanyakan.
***
Darman bangun dalam kesendiriannya di bulan Desember yang dingin. Tidak penting lagi apakah ia meninggalkan teman-temannya atau mereka meninggalkannya. Ia samar-samar mengingat kejadian-kejadian masa lalu bersama teman-temannya. Namun masa lalu adalah masa yang begitu jauh karena bagaimanapun menginginkannya ia takkan bisa kembali ke sana.
Berulang kali ia berpikir, barangkali memang demikian jalan hidupnya namun ia tak ingin sebuah kata menaklukkan seluruh hidupnya. Ia telah lama yakin bahwa kata-kata memiliki jiwa yang bisa mempengaruhi jiwa manusia. Satu kata saja bisa menghancurkan hidup seseorang dan juga pada saat yang sama membuat orang lain hidup bahagia. Ia sudah mengetahui beberapa kata ajaib itu. Ia selalu waspada dan berhati-hati untuk menggunakannya, takdir, cinta, janji, tuhan, ya, dan tidak. Dan ia juga tahu setiap kata yang lainnya juga berpotensi menjadi kuat, ambisi, malu, harus, bosan...
***
Hujan turun hampir setiap hari, setiap tetesnya adalah kesedihan yang mewakili hidupnya. Ia berdiri di ambang pintu melihat tetes-tetes hujan jatuh dan mengalir, dan sebagian terperangkap pada daun-daun, kaleng-kaleng bekas coca cola, plastic bekas makanan ringan yang dibuang begitu saja oleh anak-anak sekolah di pinggir jalan. Ia juga membayangkan beberapa kesedihannya terperangkap pada beberapa orang .
Ketika ia memejamkan matanya ia bisa merasakan bibir perempuan itu di bibirnya. Sebuah kehangatan yang selalu memeluknya dari hujan yang begitu dingin dan sepi yang menikam. Ia masih bisa menghadirkan ingatan saat itu karena ia tidak membiarkan ingatan lain menindihnya.
Ia pernah berpikir apakah ia orang yang jahat karena meminta satu ciuman dari seorang perempuan yang telah bersuami. Tapi adakah manusia yang sepenuhnya baik tanpa melakukan kejahatan dalam hidupnya, bahkan dalam hatinya? Setidaknya ia telah jujur dan memintanya dengan baik-baik. Dan perempuan itu menatapnya dengan kasih sayang, seolah berkata, kau berhak mendapatkannya dari orang lain. Namun ia memberikan ciuman itu tanpa alasan yang ia pahami. Barangkali ia juga ingin tahu seberapa dalam pemuda itu mencintainya. Ia biasa menyaksikannya setiap hari melakukan apa saja yang dimintanya, hal-hal biasa dalam persahabatan. Ketika tatapan mereka bertemu ia bisa merasakan ketulusan pemuda itu. “bila memang demikian adanya, aku akan memberikan sedikit kebahagiaan itu,” pikirnya dalam hati. Hanya dalam hati.
Dan Darman sekarang telah membuka mata dalam usia yang begitu renta. Tubuhnya yang kecil itu telah rapuh dan pandangan matanya—seperti segala hal yang berharga dalam hidupnya—mulai meninggalkannya. Ia berdiri di ambang pintu menatap tetes-tetes hujan yang sama ketika ia masih muda. Bagaimanakah kabar perempuan yang baik itu? Bisiknya pada hujan. Ia pernah berjanji akan menceritakan kisah hidupnya pada hari ulang-tahun perempuan itu setiap tahun. Dan beberapa tahun ini ia tidak lagi mengirim cerita-ceritanya. Ia bercerita di depan batu itu sambil meneteskan titik-titik air matanya yag deras seperti hujan saat itu. Ia berpikir perempuan itu takkan pernah tahu seberapa dalam cintanya. Ia hanya berharap hujan yang merembes ke tanah itu menyampaikan perasaannya suatu ketika.
Posting Komentar 1 komentar:
ketika isi kepalaku ini mulai kacau, biasanya aku akan mulai bertanya hal-hal yang tidak mempunyai arah,
ceritamu mengingatkanku, yang, pada saat itu juga bertanya tentang kesalahan atas sebuah perasaan. "kenapa mencintaiku?" kekasihku bilang bukan dia yang memilih, dan bahwa, sebenarnay cinta itu sendiri yang datang pada setiap hati manusia, jadi semua hal tergantung pada hati-hati itu sendiri, tentang akan diapakan perasaan cintanya.
-Lya-