Friendship

Friendship
Friendship

Into the Wild

Adventure

Jumat, 18 Maret 2011

1 Hujan di Atas Aspal

Aku menganggap semua orang pernah bersahabat dengan hujan, ketika kecil. Tetes-tetes air yang menyimpan banyak kenangan ketika orang-orang tiba-tiba menjadi dewasa selalu berhasil memunculkan perasaan ganjil ketika hujan itu turun.
Beberapa tahun yang lalu, seorang teman di sma meninggal karena kecelakaan. Ketika hendak berangkat bekerja pada malam hari di kantor pln kota kecil dimana aku tinggal sekarang, teman itu melaju dengan kencang, dan hujan yang telah membasahi jalanan membuatnya terlempar saat ia mencoba menghindari kendaraan lain dari arah berlawanan. Tidak lama kemudian, seorang teman sepermainan masa kecil juga meninggal karena kecelakaan dengan sebab yang hampir sama. Saksi yang melihat langsung berkata ia melihat isi kepala yang terburai di jananan basah.
Sejak saat itu cintaku pada hujan telah jauh luntur. Aku yang setiap hari harus menempuh jarak empat puluh kilometer ke tempat kerja juga tidak jarang terperosok lobang-lobang di jalan karena tergenang air hujan. Akan tetapi hujan tidak pernah berhenti turun hari-hari ini. Cucian tidak kering dan berbau apek. Juga meyihirkan rasa malas untuk pergi ke luar ruangan. Berita di koran pagi bercerita tentang hujan yang menumbangkan pohon-pohon di pinggir jalan raya di jakarta, tentang banjir yang menuntut banyak korban di berbagai daerah, tentang banjir terbesar selama seratus tahun di australia. Koran selalu saja menulis berita buruk setiap hari.
Kenapa harus demikian? Tanyaku pada hujan yang membisu dan senantiasa membungkam suara-suara lain hingga suasana seolah sepi dan hening. Anak-anak kecil sekarang tidak lagi senang pada hujan. Orang tua mereka telah mengajarkan bahwa hujan adalah pembawa penyakit flu dan demam, jauhilah hujan. Dan hujan tidak pernah berhenti turun akhir-akhir ini.
Rasa cintaku pada hujan telah jauh menghilang. Lubang-lubang di jalan yang semakin lebar dan banyak telah pula berbisik-bisik agar aku membenci hujan. Tetapi bagaimanakah aku harus membenci hujan? Suatu kali salah seorang hujan telah menahanku pada sebuah bangunan besar perpustakaan tempatku kuliah. Suasana menjadi begitu sepi dan dingin. Saat itulah pertama kali seorang perempuan menyodorkan bibirnya yang panas ke bibirku yang dingin. Suatu ketika yang lain hujan menemaniku ketika aku patah hati. Perasaanku yang panas terbakar cemburu dan kecewa telah coba didinginkannya dengan guyuran yang lebat dan keheningan yang menenangkan.
Saat itu aku begitu cinta hujan. Sekarang cintaku telah jauh berkurang karena hujan selalu jatuh di atas aspal.

Posting Komentar 1 komentar:

15 Desember 2011 pukul 07.54 Anonim mengatakan...

great work my man,marvelous

Posting Komentar