Bumi terasa semakin panas. Hamparan padi yang mongering dan rumput-rumput yang berwarna coklat di mana-mana. Angin berhembus membawa suhu panas ke tempat-tempat yang jauh. Seekor burung pipit melayang-layang terbawa angin memanggil-manggil kawan-kawannya yang mendahuluinya.
Seorang anak muda berada di bawah pohon sengon memperhatikan sawah dihadapannya yang kering kerontang. Tidak ada yang bisa ia lakukan untuk menyelamatkan tanaman padinya yang mongering. Sia-sia sudah jerih payahnya selama dua bulan ini. Anak isterinya di rumah telah mulai makan singkong karena persediaan beras telah habis berhari-hari yang lalu. Ia berpikir, bertanya dalam hati, apa yang telah ia perbuat hingga tuhan berlaku demikian padanya. Kerja keras yang sia-sia membuatnya kehilangan semangat untuk hidup. Ia enggan pulang melihat anak isterinya kelaparan. Tatapan mereka seolah menuntutnya sebagai laki-laki untuk bertanggungjawab atas semua yang menimpa keluarga kecil mereka. Isterinya tidak pernah sekalipun mengeluh, namun hal itu tidak mengurangkan deritanya melihat cekung mata wanita yang paling dikasihinya. Dulu ia pernah berjanji bahwa ia akan memberikan hidup yang berkecukupan dan kebahagiaan yang berlimpah.
Ia terus memandangi hamparan sawahnya yang menguning rumput dan pepohonan di sejauh mata memandang. Merasakan itu semua sebagai sebuah mimpi buruk yang mungkin akan berakhir esok pagi. Bila hidup adalah tentang kerja keras, apakah yang kurang dilakukannya? Keluhnya dalam hati. Para petani seperti dirinya selalu bangun sebelum fajar, bersembahyang dipagi buta memohon panen yang melimpah, kemudian setelah shalat subuh ia menuju ke sawah untuk mencangkul dan merawat tanaman yang ada. Ketika hari mulai terik, sekitar waktu dhuhur ia pulang untuk istirahat sejenak, kemudian pergi ke sawah lagi setelah ashar, hingga matahari terbenam barulah ia beranjak pulang. Dari tahun ke tahun hidup semacam itu dijalaninya dengan iklhas, namun semakin lama hasil panen semakin menurun. Sungai-sungai mulai berkurang debit airnya. Ia tahu dan samar-samar mendengar tentang pemanasan global dari orang-orang maupun dari televisi, namun sebenarnya ia tidak benar-benar mengerti. Dunianya adalah sawah, dan rumah kecilnya.
Telah lama ia merasa ada yang tidak beres dengan hidup ini. Para petani yang selalu bekerja keras selalu hidup dalam garis kemiskinan. Sementara orang-orang lain yang tidak bekerja keras mendapat hidup yang berkecukupan. Di kota—suatu kali ia pernah pergi ke sana, tidak ada petani dan tidak ada sawah. Hanya ada jalan besar dan bagunan-bangunan yang tinggi. Orang-orang memakai pakaian bagus, mobil mewah, dan memiliki apa saja. Pekerjaan mereka hanya duduk-duduk di layar mirip televisi yang mereka sebut komputer. Mereka tidak perlu kepanasan dan tidak perlu bangun pagi.
Pernah ia iri pada orang-orang kota itu, tetapi otaknya tidak sanggup membayangkan apa yang akan dilakukannya di kota, bagaimana ia bisa menghidupi keluarganya di sana. Ia tidak bersekolah ketika masih anak-anak. Orang tuanya menganggap bahwa sekolah itu membuat anak menjadi pemalas dan pemimpi. Asalkan bisa membaca dan menulis, itu sudah lebih dari cukup. Dan hasilnya ia telah bekerja membantu orang tuanya sejak kecil. Ia bisa melakukan pekerjaan apa saja, dari menyabit rumput, memanjat pohon kelapa, menjadi kuli panggul, apa saja yang bisa dilakukan orang-orang desa, ia bisa melakukannya dengan sangat baik. Ia diajarkan untuk bekerja keras pada waktu muda agar di waktu tua hidup enak. Orang tuanyapun menikahkannya di usia delapan belas tahun. Kata mereka, menikahlah selagi muda, selagi kuat mengurus anak dan isteri, jangan sampai, sudah tua baru mengurus anak. Semua itu kedengaran masuk akal baginya. Dan sekarang pada usianya yang baru dua puluh tujuh tahun itu, ia sudah punya tiga orang anak. Anak yang paling besar sudah berumur sembilan tahun. Ketika kebutuhan hidup sedang begitu besar, demikianlah keadaannya, ia hanya bisa berdiri di tengah-tengah kekeringan yang mendera. Dan apakah yang harus dilakukannya sekarang? Rintihnya dalam hati.
Setiap kali ia teringat anak dan isterinya, dadanya seolah menjadi sesak. Entah mengapa ia menjadi gampang marah pada meeka.
Beberapa hari ini isterinya minta ijin untuk bekerja ke negeri tetangga sebagai pembantu. Ia merasa ditampar oleh isterinya dengan permintaan tersebut karena hal itu berarti suatu pengakuan bahwa ia tidak mampu menjadi kepala keluarga yang baik. Harga dirinya seakan telah terkoyak. Selain daripada itu, ia sering mendengar berita yang tidak menyenangkan mengenai para istri yang bekerja sebagai pembantu rumahtangga di negeri tetangga. Banyak yang pulang dengan membawa aib, dan banyak juga yang tidak pernah pulang. Meskipun juga tidak sedikit yang berhasil membawa uang yang cukup untuk membangun sebuah rumah.
Angin yang panas berhembus menerpa wajahnya, ia tidak menghiraukannya. Daun-daun rontok beterbangan dibawa angin. Bunga-bunga pohon waru berwarna kuning keemasan berputar-putar di angkasa.
Inikah makna hidup ini? Batinnya mengeluh. Lamunannya melayang jauh ke atas langit membayangkan tuhan sedang berbuat sesuatu untuk orang-oang seperti dirinya. Diambilnya sebatang rokok buatannya sendiri dari saku celananya. Beberapa saat kemudian asap mengepul dari mulut dan hidungnya. Ia memejamkan mata seolah sedag berkonsentrasi untuk memecahkan masalah yang begitu sulit. Ia teringat teman-temann masa kecilnya, mereka telah satu demi satu meninggalkan tempat ini, tanah kelahiran mereka, untuk pergi ke kota, sebagian pergi ke pulau lain. Baginya sendiri, tanah kelahirannya adalah segalanya. Suatu tepat dimana segala suka duka dijalaninya dengan ikhlas. Ia begitu percaya pada tanah ini, yang selama ini selalu menopang hidupnya. Kini ketika keyakinannya telah dibalas dengan kegagalan yang bertubi-tubi, ia mulai berpikir untuk meninggalkan tanah ini.
Pikiran semacam ini telah mulai mengganggunya beberapa bulan sebelumnya, akan tetapi baginya tidak semudah itu. Ia tidak mengenal dunia lain selain tanah kelahirannya.
Ia pernah beberapa kali pergi ke kota, sekali menengok saudara yang berada di rumah sakit. Betapa ia masih ingat perasaannya waktu itu, menjadi orang asing dan tidak tahu harus bersikap. Bila sendirian waktu itu, ia yakin tidak akan bisa kembali karena ia tidak tahu bagaimana menggunakan lift dan bagaimana menemukan ruangan di antara ratusan ruangan yang sama. Ia begitu malu untuk bertanya, takut orang-orang memandang rendah dirinya.
Matahari telah mulai condong ke barat, burung-burung melintas dari tempat yang jauh dalam rombongan-rombongan. ia berpikir, darimanakah mereka dan akan kemana? Bagaimanakah burung-burung itu menemukan sarangnya di antara jutaan pohon di dunia ini? Bagi burung-burung, hidup ini pastilah sangat indah. Apakah burung-burung terikat pada tanah kelahiran? Merasa hangat dengan kenangan-kenangan masa kecil. Meskipun kenangan itu mulai pudar, namun perasaan yang akrab tetap tinggal. Rumahku adalah surgaku, demikian nasihat orang-orang tua.
Sampai detik ini ia belum menemukan solusi masalah yang dihadapinya. Waktu seakan terasa lebih cepat berlalu saat ini dibandingkan ketika ia masih kecil. Perutnya berbunyi, mengingatkannya pada anak istri di rumah. Apa yang dilakukannya, pikinya. Hanya berdiri menyesali nasib, memandangai tanah yang telah meluluhlantakkan keyakinannya pada segala yang diyakininya sejak kecil. Dadanya kembali terasa sesak, seolah-olah oksigen tiba-tiba menghilang dari tempat itu. Ia tahu bahwa ia harus merelakan isterinya untuk pergi. Harga dirinya sebagai seorang suami, seorang laki-laki yang tidak mempu memberikan nafkah yang cukup pada keluarga telah lama terkikis oleh rasa lapar yang bertambah setiap hari.
Dia tidak memiliki apa-apa lagi, ia tidak tahu bila masalah seperti ini memiliki jalan keluar yang lebih bersahabat. Inikah yang disebut takdir itu? bisiknya dalam hati, kehendak tuhan yang sudah ditulis sejak manusia belum diciptakan. Dalam hati kecilnya ia merasa tidak adil namun ajaran agama yang diyakininya selama ini membuatnya tidak berani mengungkapkannya meskipun dalam batin.
Pada titik ini ia ingin berteriak sekeras-kerasnya untuk melepaskan beban di hati. Tetapi ia yang sejak kecil tidak pernah melakukannya, juga tidak bisa melakukannya sekarang meskipun sangat ingin. Ada sesuatu dalam idirinya yang menghalanginya berbuat demikian.
Aku harus berteriak, pikirnya dalam hati. Ini adalah titik balik yang harus kulalui. Kemudian ia berdehem-dehem membersihkan kerongkongannya dan bersiap untuk berteriak. Akan tetapi manusia adalah budak dari kebiasaannya. Ia malu kalau ada orang yang mendengar. Apa gunanya berteriak, gumamnya untuk membela harga dirinya yang jatuh di hadapannya sendiri.
Burung-burung pipit terbang melintas, kadang dalam rombongan yang besar kadang satu atau dua. Burung-burung itu nampaknya akan kembali ke sarang mereka, berkumpul dengan anak-anaknya. Hari sudah sore, langit mulai memerah karena matahari mulai tenggelam. Ia pun harus pulang menatap anak isterinya yang menantinya di rumah.
Dengan langkah gontai, laki-laki itu meninggalkan tempatnya berdiri. Dari belakang tampak tubuhnya yang kurus seakan terbawa angin yang bertiup cukup kencang membawa aroma-aroma yang khas namun entah apa. Dari kejauhan orang-orang sepertinya juga mulai beranjak pulang. Ada yang membawa kayu bakar, ada juga yang membawa sekeranjang rumput. Laki-laki itu sendiri tidak membawa apa-apa selain kesedihan yang semakin menikam.
Posting Komentar 0 komentar: