Friendship

Friendship
Friendship

Into the Wild

Adventure

Minggu, 28 Juni 2009

0 Pragmatis, Skeptis, Sinis

Aku bukan orang cacat, aku tidak mau berada di tempat ini terus-menerus hingga akhir hayat. Di sudut itu buku-buku berantakan tak tertata. Setiap kali melihat ke sudut itu aku berjanji akan segera menyingkirkannya. Tapi sejak berbulan-bulan lalu keadaannya masih sama, malah semakin bertambah dari hari ke hari seperti borok yang tak kunjung sembuh.
Kulihat lewat jendela hujan masih jatuh satu dua. Jendela itu sudah lapuk tertimpa hujan setiap hari. Setiap kali membukanya selalu muncul perasaan khawatir jendela itu akan lepas.
Kulihat bayangan di cermin, sepasang mata yang putus asa, yang takkan lama lagi terpejam bersama selimut kumal, lembar-lembar kertas bekas catatan kuliah seminggu yang lalu, dan seekor kucing yang selalu setia menunggui tempat tidur itu. Bau apek puntung rokok yang berjubelan di sudut-sudut kamar terasa menyengat. Tempat itu seperti penjara yang memiliki tangan-tangan gaib yang selalu memegangi tubuh dan kepalaku.
Aku selalu berpikir tentang pekerjaan beberapa hari ini, dan banyak hal lain tentang hidup. Kadang merasa beruntung, tapi seringnya putus asa karena tidak pernah lepas dari penjara imajinatif yang mengungkung. Sekali-kali juga ingat keluarga yang tampak begitu kualahan menjalani hidup. Mereka tidak menyerah. Orang-orang sederhana juga berpikir sederhana, tak banyak yang dikhawatirkan.
Segala sesuatu berubah, kebanyakan menjadi lebih buruk dan rusak. Semua benda pada akhirnya hanyalah sampah yang merepotkan dan kebahagiaan, kejadian-kejadian, pada akhirnya hanyalah ingatan yang terselip di antara ingatan-ingatan yang mudah terlupakan, atau menjadi beban yang selalu terbawa.
Dari sudut ini keputusasaan itu muncul seperti kanker. Menggerogiti masa muda yang seharusnya gaduh dan sibuk. Aku pun tahu, seharusnya hidup tidak seperti ini. Aku selalu melihat akhir dari segalanya. Maka pada hakikatnya semua tujuan adalah sama saja, akan berakhir pada satu titik pada waktu dan tempat tertentu. Tidak ada yang istimewa.
Dari kamar sebelah selalu terdengar suara game komputer yang dimainkan hampir sepanjang hari. Orang-orang malas yang lain, tapi mereka jauh lebih beruntung karena tidak dihantui pikiran-pikiran sepertiku. Mereka orang-orang yang menikmati hidup. Menjalani hidup dengan santai, mengikuti arus dan tidak terlalu ambil pusing dengan apa pun terlebih lagi moral. Orang-orang seperti itulah yang lebih sering beruntung. Tidak perlu lulus tepat waktu dan kemudian menganggur untuk beberapa tahun sebelum pada akhirnya mendapat kerja dan berkeluarga.
Aku sering percaya hidup memang sudah ditakdirkan. Tapi berbaring saja di tempat ini tidak mengubah apa pun.
Dengan segala tekanan itu, udara terasa semakin sempit dan kotor. Dunia ini tak lebih dari kamar pengap raksasa yang serba berantakan dan bau. Itulah simpulanku sementara.
Dari kamar sebelahnya lagi terdengar suara cumbuan sepanjang waktu. Keduanya sudah merasa seperti suami-isteri kaya yang berbulan madu. Menganggap orang lain kacung yang harus membersihkan sampah mereka. Menambah berantakan dan sumpek kontrakan ini. Pasti dunia akan lebih baik jika jumlah orang-orang seperti itu berkurang, orang-orang yang tidak punya malu. Bagaimana kan kulanjutkan hidupku dengan semua beban ini. aku sudah muak mengumpat dalam hati. Kuanggap semua itu adalah hantu-hantu yang bergentayangan yang memiliki dunia yang berbeda denganku. Jika aku tak sanggup mengabaikannya maka akulah yang seharusnya pergi sebab hantu tidak punya pikiran.
Namun dari semua itu, yang paling horor adalah waktu yang terus mengejar.
Aku ingin terbebas dari rasa putus asa itu. Kemudian seperti banyak orang lainnya, aku mulai mencari pelarian. Pelarian pertama adalah musik. Aku mendengarkan musik setiap hari melalui MP3 player namun setelah sekian lama aku tetap tidak terbebas. Yang kusangka sebagai pembebas ternyata adalah belenggu yang lain, terasa bosan dan lelah mendengarkan musik setiap saat. Aku merindukan keheningan.
Aku selalu bertanya di manakah letak kebahagiaan itu, sedangkan kepuasan jika dipenuhi terus menerus nilainya akan semakin berkurang kemudian pada titik tertentu akan hilang dan berubah menjadi kesengsaraan. Sebuah paradox kehidupan yang diam-diam disadari oleh semua orang. Jadi hidup ini memang sebuah drama yang akhirnya selalu memilukan.
Setelah itu aku mencoba mempelajari filsafat dan agama yang menuntunku ke alam yang sunyi dan kosong. Aku ingin mencari kesejatian hidup namun aku tidak ingin mendapatkannya.
Lalu aku menyibukkan diri dengan hewan peliharaan, ikan dan kucing. Namun pada akhirnya dilema mengepungku. Aku memberi makan kucing itu dua ribu rupiah sehari namun menolak memberi uang pada pengemis dan anak jalanan. Aku tidak mau begitu dan segera mengakhirinya. Aku tidak tahu kenapa begitu pelit padahal uang yang kuperoleh bukanlah hasil kerjaku. Uang itu seperti datang dari langit dan aku menyembunyikannya untuk makanan rayap. Tapi memang kalau dipikir dengan jalan itu segalanya menjadi begitu sulit. Ketika kita makan di meja makan, berjuta orang kelaparan.
Memang begitulah tipikal orang-orang kita, kalau punya banyak suka menghambur-hamburkan, kalau punya sedikit, meminta-minta. Meskipun bukan orang kaya aku tidak mau meminta-minta. Hidup ini kuanggap saja sebagai perjalanan backpacking, hidup seadanya, sederhana, minimalis, jangan membebani punggung dengan terlalu banyak bawaan. Tak perlu terlalu higienis tapi juga jangan menjadi gembel.
Egois adalah sifat dasar manusia yang diturunkan dan tak pernah berkurang sedikitpun dalam perjalanan evolusi yang panjang. Aku menemukan sifat itu dimana-mana di antara teman-teman dan orang terdekat. Anehnya, justru orang asing yang sering kali berbaik hati menawarkan pertolongan yang memang sedang diperlukan. Satu lagi paradox hidup.
Mungkin lebih baik jika semuanya dibiarkan begitu saja. Tak usah berpikir terlalu serius. Mungkin jika berpikir berbeda segalanya akan terasa berbeda, jika tak berpikir sama sekali, segalanya takkan terasa.
Orang tak pernah puas, selalu merasa ada yang kurang dalam hidup ini dan selalu merasa benar. Orang-orang sepertiku tak pernah berhenti bertanya sekaligus selalu meragukan jawaban-jawaban yang mungkin, menjadi skeptis. Hidup adalah selalu tentang pertanyaan. Begitulah hidup di mataku, pertanyaan. Aku juga merasa bukan orang bodoh, setidaknya tidak lebih bodoh dari kebanyakan orang yang kukenal. Namun paradox yang lain lagi, orang-orang pintar melihat hal-hal sederhana dengan cara yang rumit sementara orang-orang kebanyakan melihat hal-hal itu dengan cara yang sederhana. Dengan demikian hidup ini selalu menjadi rumit bagi orang-orang pintar itu, orang-orang yang selalu ragu dengan segalanya. Barangkali mereka itulah orang-orang bodoh yang sejati.
Tidak ada yang berlangsung selamanya karena itulah waktu menjadi penting sekaligus tidak penting. Bagaimanapun aku berdamai dengannya, ia akan meninggalkanku begitu saja. Waktu lebih penting dari segalanya yang terantai padanya secara kejam dan dingin. Wajah rupawan, harta melimpah, ilmu yang luas tidak ada artinya sama sekali dibanding kan dengan waktu yang sesungguhnya tak terukur itu. Waktu membawa kesedihan yang lain sekaligus memberikan penawarnya.
Pada akhirnya pengalaman mengajariku untuk menjadi pragmatis. Lakukan apa yang ingin kau lakukan , yakinlah bahwa manusia bisa mengalahkan takdirnya. Meskipun tidak sepenuhnya pragmatis karena skeptis dan sinis juga bersemayam dalam diriku.
Mazhab sinis dan skeptis
Antisthenes murid Sokrates, dua puluh tahun lebih tua dari Plato, dalam beberapa hal agak menyerupai Tolstoy setelah kematian Sokrates (dan kekalahan Athena, atau muak dengan perbantahan filsafat yang berlarut-larut) menyebabkan dirinya memandang rendah segala sesuatu yang sebelumnya ia hargai. Ia tidak menghendaki apa pun kecuali kebaikan sederhana. Ia menggabungkan diri dengan para pekerja kasar dan berpikir seperti mereka. Ia tidak sepenuhnya bersikap asketis, namun ia menistakan kemewahan dan semua upaya untuk mengejar kenikmatan jasmani yang bersifat semu. "Saya lebih baik gila daripada bersuka-cita," ujarnya.

Posting Komentar 0 komentar:

Posting Komentar