Ketika malam tiba,
orang-orang mulai terlelap dalam tidurnya, nyamuk-nyamuk yang kalap dan
haus darah bergentayangan tanpa memperdulikan hidupnya sendiri. Seekor
cicak mondar-mandir dalam dunia yang datar yang kita sebut dinding, ia
lahir, hidup dan mati di sana. Jangkrik-jangkrik berteriak menyanyikan
lagu yang sama sepanjang hidupnya. Setiap malam semua itu berulang
seperti roda berputar dan tak seorangpun memperhatikannya. Di bawah
jembatan tua itu anak-anak jalanan tertidur lelap, tidak tahu apa yang
harus dipikirkan selain makan dan makan, setelah kenyang mereka tertidur
dan ketika lapar menyerang, mereka mengais-kais jalanan dengan gitar
plastik.
Mimpi apa malam ini? Tanya si anak jalanan pada temannya keesokan harinya. Aku mimpi makan es krim, jawab temannya lugu. Sehari sebelumnya si anak melihat seorang anak sekolah sedang makan es krim dan es krim itu jatuh tumpah di atas aspal, ia memandanginya sampai es itu mencair dan mengering di bawah terik sambil menelan ludah. Orang-orang melihat si anak jalanan dengan kasihan tapi tidak melakukan apa-apa. Rasa itu muncul dan menghilang lebih cepat dari es krim meleleh di atas aspal yang panas, sepintas lalu, sekelebatan. Lihatlah wajah mereka yang dekil dan licik, kata seseorang yang lewat di jalan kepada teman-temannya. Mereka adalah sampah kota, sebentar lagi mereka akan menebarkan virus HIV kemana-mana.
Anak-anak jalanan itu seperti nyamuk-nyamuk yang kalap dan haus darah, tidak perduli hidupnya yang penting ia makan, juga seperti jangkrik yang menyanyikan lagu yang sama dari waktu ke waktu, juga seperti cicak yang lahir hidup dan mati di dunia datar yang kita sebut jalanan. Mereka adalah binatang. Bukan, mereka jauh lebih malang. Ada hari-hari dimana mereka melihat binatang minum susu hangat dan diselimuti bulu tebal, dicium dan dipeluk, diajak bicara dan diberi nama. Sementara para pejabat hanya menamai mereka anak jalanan, alamat di bawah jembatan, cita-cita menjadi orang sukses tanpa tahu maksudnya, sementara orang-orang punya agama islam ktp, mereka tidak punya ktp dan praktis tidak punya agama.
Jalanan adalah panggung terbuka, anak-anak itu adalah penonton. Setiap hari ada kejadian yang mereka saksikan di jalanan, dramatis kadang-kadang. Suatu malam ada mobil goyang, suatu malam yang lain anak-anak punk teler dan saling meludahi, suatu siang tukang parkir mencuri helm, suatu siang yang lain seorang banci bermasturbasi di bawah pohon. Hari ke hari mobil-mobil mewah bertambah, di dalamnya adalah para dewa dan bidadari, demikian pikir anak-anak itu. Di tempat rambu-rambu lalu lintas mereka menjulurkan tangan mengharapkan sebuah tangan malaikat muncul dari jendela, namun seringnya pintu surga tertutup buat anak-anak seperti mereka. Mungkin bidadari di dalam surga sedang bersenggama dengan malaikat.
Apa doamu sebelum tidur? Kata seorang anak jalanan pada temannya. Aku berdoa besok ada es krim yang jatuh dan aku sempat mengambilnya sebelum meleleh di aspal. Amin amin amin.
Mimpi apa malam ini? Tanya si anak jalanan pada temannya keesokan harinya. Aku mimpi makan es krim, jawab temannya lugu. Sehari sebelumnya si anak melihat seorang anak sekolah sedang makan es krim dan es krim itu jatuh tumpah di atas aspal, ia memandanginya sampai es itu mencair dan mengering di bawah terik sambil menelan ludah. Orang-orang melihat si anak jalanan dengan kasihan tapi tidak melakukan apa-apa. Rasa itu muncul dan menghilang lebih cepat dari es krim meleleh di atas aspal yang panas, sepintas lalu, sekelebatan. Lihatlah wajah mereka yang dekil dan licik, kata seseorang yang lewat di jalan kepada teman-temannya. Mereka adalah sampah kota, sebentar lagi mereka akan menebarkan virus HIV kemana-mana.
Anak-anak jalanan itu seperti nyamuk-nyamuk yang kalap dan haus darah, tidak perduli hidupnya yang penting ia makan, juga seperti jangkrik yang menyanyikan lagu yang sama dari waktu ke waktu, juga seperti cicak yang lahir hidup dan mati di dunia datar yang kita sebut jalanan. Mereka adalah binatang. Bukan, mereka jauh lebih malang. Ada hari-hari dimana mereka melihat binatang minum susu hangat dan diselimuti bulu tebal, dicium dan dipeluk, diajak bicara dan diberi nama. Sementara para pejabat hanya menamai mereka anak jalanan, alamat di bawah jembatan, cita-cita menjadi orang sukses tanpa tahu maksudnya, sementara orang-orang punya agama islam ktp, mereka tidak punya ktp dan praktis tidak punya agama.
Jalanan adalah panggung terbuka, anak-anak itu adalah penonton. Setiap hari ada kejadian yang mereka saksikan di jalanan, dramatis kadang-kadang. Suatu malam ada mobil goyang, suatu malam yang lain anak-anak punk teler dan saling meludahi, suatu siang tukang parkir mencuri helm, suatu siang yang lain seorang banci bermasturbasi di bawah pohon. Hari ke hari mobil-mobil mewah bertambah, di dalamnya adalah para dewa dan bidadari, demikian pikir anak-anak itu. Di tempat rambu-rambu lalu lintas mereka menjulurkan tangan mengharapkan sebuah tangan malaikat muncul dari jendela, namun seringnya pintu surga tertutup buat anak-anak seperti mereka. Mungkin bidadari di dalam surga sedang bersenggama dengan malaikat.
Apa doamu sebelum tidur? Kata seorang anak jalanan pada temannya. Aku berdoa besok ada es krim yang jatuh dan aku sempat mengambilnya sebelum meleleh di aspal. Amin amin amin.
Posting Komentar 0 komentar: