by Nasirun Khan (Notes) on Wednesday, April 25, 2012 at 1:05pm
Aku
tidak tahu bagaimana ini terjadi, segala tentangnya membuatku muak,
bahkan senyum dan tertawanya terdengar lebih parau dari lolong anjing di
malam buta. Ini sama sekali tidak masuk akal, telah berulang kali
kuanalisa apa yang membuatku jijik pada orang itu, tapi aku selalu
gagal. Ia adalah orang kebanyakan yang menghabiskan waktu di depan tv
dan membicarakan hal remah-temeh dengan tetangga. Seolah tanpa alasan
apapun aku selalu merasa jijik melihatnya, mendengar suaranya, apapun
yang ia katakan lebih buruk daripada sampah. Aku ingin tahu apakah ada
orang lain yang merasakan hal sama padaku seperti aku merasa jijik pada
orang itu. Aku selalu menahan diri dan beramah-tamah dengannya demi
mengetahui bahwa mungkin juga ada orang lain yang berbuat sama padaku.
Tetapi pada saatnya aku akan membungkamnya hingga ia tak bisa lagi
berkata kata dengan suara cempreng yang meresahkan, ia tidak lagi
tersenyum dan tertawa seperti kuda, akan tiba saatnya ia harus diam dan
membiarkanku hidup dengan tenang. Aku tidak ingin melihatnya, aku tidak
ingin mendegar suaranya, bahkan aku tidak ingin mengingat kalau ia
pernah ada di muka bumi ini, tetapi sungguh sial, suaranya senantiasa
terngiang dan tak pernah berhenti tertawa di dalam kepalaku, wajahnya
yang kurus terus terbayang dan melayang-layang di udara, terpampang
abstrak di tembok-tembok kosong dan di helai-helai daun yang jatuh
dimana-mana.
Aku sering mendengar orang-orang yang jatuh cinta pada pandangan pertama, sungguh beruntung mereka, tapi benarkah? Bagaimana dengan benci pada pandangan pertama, itu yang selalu terjadi padaku. Setiap kali melihat orang-orang yang cantik aku langsung membencinya. Mereka adalah orang paling tidak pantas untuk sombong karena semakin cantik orang itu, semakin ia biasa-biasa saja. Tidak ada yang aneh atau menonjol dalam dirinya, wajahnya standar, tingginya standar, warna kulitnya standar, hidungnya standar, matanya standar, sungguh buta orang-orang memuja mereka. Sementara di luar sana tidak banyak orang yang hidungnya bengkok, mulutnya miring, matanya besar satu, dianggap sebagai orang yang jelek hanya karena tidak punya tampang yang standar.
Aku masih membenci orang itu setelah kemarin malam ia datang dan membelikanku nasi goreng yang lezat. Ia adalah salah satu perempuan standar yang bila berjalan selalu merasa bumi menjilati kedua telapak kakinya yang halus dan wangi. Aku selalu membenci senyumnya yang begitu percaya diri karena terbukti telah menekuk lutut para laki-laki yang hanya menggunakan otaknya untuk membayangkan payudara dan vagina yang merah jambu. Aku tidak mengerti kenapa laki-laki selalu menekuk lututnya dengan cara demikian, demi senyum yang standar, kedua mata yang standar dan hidung serta wajah yang simetris. “Ini era posmodernisme bung, segala yang standar dan simetris seharusnya sudah bukan lagi hal yang menarik, cenderung membosankan dan terlalu sederhana”. “Bukan, bang. Ini masih jaman batu primitif, orang-orang ingin melihat isi pakaian dan bermain-main seperti binatang. Kita semua adalah kera dan merindukan musim kawin di atas pohon.” “Tetapi apa artinya moral yang kita pelajari berjuta juta tahun dan ilmu pengetahuan yang telah menembus ruang dan waktu itu?” “Semua itu tidak ada artinya dihadapan senyum yang standar dan wajah yang simetris bang, karena sesungguhnya yang kita sembah-sembah hanyalah itu.” Oh tuhan betapa aku ingin melenyapkan perempuan-perempuan standar itu yang selalu tersenyum dengan percaya diri dan merasa bumi menjilati kaki-kaki mulusnya yang wangi.
Aku sudah berulang kali bilang pada para laki-laki itu bahwa otak kalian adalah otak kera. Darwin benar, kalian adalah kera yang beradaptasi, setelah berjuta-juta tahun kalian semua masih kera. “Berapa harus aku bayar untuk menjadi seekor kera sejati,” kata seorang laki-laki. “Bayar dengan otakmu yang membayangkan bahwa moral itu ada, kau tidak butuh otak, kau hanya butuh berkeringat dan bicara dengan bahasa tubuhmu,” jawab perempuan dengan bibir standar dan wajah simetris. Oh tuhan, betapa aku ingin menghapus percakapan ini dari kepalaku seperti aku ingin menghapus perempuan berkaki halus dan wangi yang merasa bumi menjilati telapak kakinya itu. Tetapi sungguh tetapi, aku mesti menjadi batu di antara patung-patung budha, berlumut dan retak di tangan, kaki, dan semua bagian yang bisa disentuh. Apalah artinya hati yang hangat bila harus bertekuk pada telapak kaki jalang yang selalu diperkosa oleh sepatu hak tinggi.
Berhari-hari ini aku telah memikirkan sebuah pembunuhan yang sulit, membunuh jalang itu dari kepalaku. Malam kemarin, setelah memberikan nasi goreng, perempuan itu memasukkan kepalaku ke dalam kaosnya dengan begitu percaya diri. Ia mengira aku adalah laki-laki yang memuja bentuk standar dan simetris. Dia membenturkan kepalaku dengan keras pada kedua gundukan simetris di dadanya, gigitlah. Tiba-tiba aku merasa otakku terburai di pahanya, menjadi cairan putih yang kental. Inilah pikirku akhir dari otak manusia, menjadi cairan putih kental di paha perempuan yang kau benci, dan kau tidak lagi sanggup mengungkapkan kebencianmu pada kedua paha yang terbuka dan menyedot habis isi kepalamu yang berisi kebencian.
Aku sering mendengar orang-orang yang jatuh cinta pada pandangan pertama, sungguh beruntung mereka, tapi benarkah? Bagaimana dengan benci pada pandangan pertama, itu yang selalu terjadi padaku. Setiap kali melihat orang-orang yang cantik aku langsung membencinya. Mereka adalah orang paling tidak pantas untuk sombong karena semakin cantik orang itu, semakin ia biasa-biasa saja. Tidak ada yang aneh atau menonjol dalam dirinya, wajahnya standar, tingginya standar, warna kulitnya standar, hidungnya standar, matanya standar, sungguh buta orang-orang memuja mereka. Sementara di luar sana tidak banyak orang yang hidungnya bengkok, mulutnya miring, matanya besar satu, dianggap sebagai orang yang jelek hanya karena tidak punya tampang yang standar.
Aku masih membenci orang itu setelah kemarin malam ia datang dan membelikanku nasi goreng yang lezat. Ia adalah salah satu perempuan standar yang bila berjalan selalu merasa bumi menjilati kedua telapak kakinya yang halus dan wangi. Aku selalu membenci senyumnya yang begitu percaya diri karena terbukti telah menekuk lutut para laki-laki yang hanya menggunakan otaknya untuk membayangkan payudara dan vagina yang merah jambu. Aku tidak mengerti kenapa laki-laki selalu menekuk lututnya dengan cara demikian, demi senyum yang standar, kedua mata yang standar dan hidung serta wajah yang simetris. “Ini era posmodernisme bung, segala yang standar dan simetris seharusnya sudah bukan lagi hal yang menarik, cenderung membosankan dan terlalu sederhana”. “Bukan, bang. Ini masih jaman batu primitif, orang-orang ingin melihat isi pakaian dan bermain-main seperti binatang. Kita semua adalah kera dan merindukan musim kawin di atas pohon.” “Tetapi apa artinya moral yang kita pelajari berjuta juta tahun dan ilmu pengetahuan yang telah menembus ruang dan waktu itu?” “Semua itu tidak ada artinya dihadapan senyum yang standar dan wajah yang simetris bang, karena sesungguhnya yang kita sembah-sembah hanyalah itu.” Oh tuhan betapa aku ingin melenyapkan perempuan-perempuan standar itu yang selalu tersenyum dengan percaya diri dan merasa bumi menjilati kaki-kaki mulusnya yang wangi.
Aku sudah berulang kali bilang pada para laki-laki itu bahwa otak kalian adalah otak kera. Darwin benar, kalian adalah kera yang beradaptasi, setelah berjuta-juta tahun kalian semua masih kera. “Berapa harus aku bayar untuk menjadi seekor kera sejati,” kata seorang laki-laki. “Bayar dengan otakmu yang membayangkan bahwa moral itu ada, kau tidak butuh otak, kau hanya butuh berkeringat dan bicara dengan bahasa tubuhmu,” jawab perempuan dengan bibir standar dan wajah simetris. Oh tuhan, betapa aku ingin menghapus percakapan ini dari kepalaku seperti aku ingin menghapus perempuan berkaki halus dan wangi yang merasa bumi menjilati telapak kakinya itu. Tetapi sungguh tetapi, aku mesti menjadi batu di antara patung-patung budha, berlumut dan retak di tangan, kaki, dan semua bagian yang bisa disentuh. Apalah artinya hati yang hangat bila harus bertekuk pada telapak kaki jalang yang selalu diperkosa oleh sepatu hak tinggi.
Berhari-hari ini aku telah memikirkan sebuah pembunuhan yang sulit, membunuh jalang itu dari kepalaku. Malam kemarin, setelah memberikan nasi goreng, perempuan itu memasukkan kepalaku ke dalam kaosnya dengan begitu percaya diri. Ia mengira aku adalah laki-laki yang memuja bentuk standar dan simetris. Dia membenturkan kepalaku dengan keras pada kedua gundukan simetris di dadanya, gigitlah. Tiba-tiba aku merasa otakku terburai di pahanya, menjadi cairan putih yang kental. Inilah pikirku akhir dari otak manusia, menjadi cairan putih kental di paha perempuan yang kau benci, dan kau tidak lagi sanggup mengungkapkan kebencianmu pada kedua paha yang terbuka dan menyedot habis isi kepalamu yang berisi kebencian.
Posting Komentar 0 komentar: