Friendship

Friendship
Friendship

Into the Wild

Adventure

Senin, 10 Mei 2010

0 Ada Yang Salah dengan Hidup Ini


Hari ini ketika aku membaca iklan lowongan kerja di Suara Merdeka, aku merasa ada yang salah. Setiap kali aku membaca iklan lowongan kerja aku merasakan hal yang sama. Sambil membaca baris-baris lowongan itu, aku memikirkan apa yang salah, apa yang selalu kurang. Sesuatu dalam diriku berkata "kau tidak menginginkannya." Benarkah? aku tidak ingin bekerja seperti orang-orang lain. Bahkan aku selalu merasa ada yang salah dengan hidup ini, yang dicari-cari, yang diperebutkan itu pada akhirnya hanyalah pepesan kosong. Untuk apa hidup ini? Apa yang salah jika aku tidak ingin berebut pepesan itu, jika aku ingin menonton saja karena penonton dan pemain semuanya akhirnya sia-sia belaka. Setiap bangun tidur aku selalu berkata, 'berpikir positif' dan semuanya akan beres tetapi kemudian hidup ini tetap terasa salah.

Bagi sebagian orang, hidup ini mengalir seperti air, meskipun ada kalanya pasang dan surut tetapi tetap mengalir ke muara. Dan selesailah semuanya. Finish, berakhir, habis adalah gagasan yang menakutkan. Banyak orang bodoh ingin hidupnya segera selesai dengan membunuh diri, terhadap orang-orang ini aku merasa malu karena hanya memikirkan kata itu saja aku sudah tidak berdaya. Untuk apa semunya jika akan selesai pada akhirnya. Nama yang selalu dikenang, jasa yang selalu disebut-sebut siapa yang merasakannya kalau si empunya sudah habis, sudah tidak bisa lagi berkata, 'aku'.

Seandainya agama-agama tidak menawarkan konsep hidup sesudah mati, agama-agama itu pasti hanyalah bahan lelucon saja. Tetapi namanya orang-orang bodoh, mereka tidak akan berpikir panjang untuk melakukan sesuatu, hanya menurutkan hawa nafsu yang tidak lain hanyalah fatamorgana oase di tengah padang pasir. Segalanya berawal dan berakhir di kepala orang-orang itu sendiri. Apakah Tuhan bosan dengan diri-Nya sendiri sehingga Dia mesti menciptakan orang-orang bodoh untuk menghibur-Nya. Manusia tidak pernah meminta eksistensi, namun begitu ia ada ia segera menjadi masalah yang utama. Kenapa orang harus takut tidak eksis jika eksistensi itu tidak pernah keluar dari kepala, hanya omong kosong yang kita ulang-ulangi bersama-sama hingga akhirnya kita pun lupa konsep itu hanyalah omong kosong kita sendiri. Wahai Tuhan, Engkau ada atau tidak bagi kami sama saja; kebinasaan, ketiadaan. Begitu otak ini sudah berhenti berpikir ia berhenti menyadari eksistensi-Mu. Jika Engkau berkata, "Aku tidak membutuhkanmu", aku berkata, "Kenapa Kau ciptakan jika kau tak butuh?" Jika Kau ada dan murka karena kebodohanku, kenapa tidak kau ciptakan aku lebih pintar. Aku tidak tahu kapan aku menyadari eksistensi-Mu, barangkali aku jauh lebih dulu menyadari ibu dan bapak dan orang-orang di kiri kananku dan benda-benda yang menyokongku untuk hidup. Semua itu diajarkan padaku dan tidak datang dengan sendirinya. Konsep tentang-Mu terlalu rumit dan membingungkan. Orang-orang telah saling bunuh hanya untuk berkata Kau adalah A atau B.

Masih di lembar-lembar koran itu, orang penting tersenyum dengan tulisan 'Selamat Idul Fitri Mohon Maaf Lahir Batin' dan tidak lupa nama dan gelarnya. Kenapa ia harus menempel fotonya dan juga namanya, kenapa fotonya yang sedang memakai pakaian batik yang bagus dan ia juga tersenyum bukan foto ketika ia buang hajat atau sedang marah saja biar begini atau begitu, lagi-lagi adalah eksistensi. Merasa eksis adalah lebih penting dari segalanya, semakin seseorang ragu akan eksistensinya semakin ia rakus untuk dikenal orang. Padahal yang paling eksis dalam diri seseorang adalah dirinya sendiri kemudian orang-orang terdekat yang selalu bergaul dengannya. Orang-orang penting itu hanyalah figuran dalam drama hidup seseorang karena peran utamanya adalah dirinya sendiri.

Belum cukup jika hanya begitu saja. Informasi tidaklah informasi jika tidak mendoktrin. Masih di koran itu muncul berita tentang PSK yang diratapi sebagai pesakitan oleh doktrin ini, karena koran tersebut sedang mencoba membangun nilai tertentu karena tidak ada sesuatu pun yang tidak memihak, meskipun katanya memihak kebenaran, atau agama atau gagasan sembarang yang dipegang mayoritas. Benarkah nilai-nilai itu benar-benar luhur dan sehat. Apakah jika mempertanyakan semua itu lantas si penanya menjadi hilang akal, tidak berbudi.

Masih belum cukup, di koran itu banyak bertebaran barang-barang mewah, yang dicitrakan sebagai simbol kebahagiaan hidup manusia padahal bagi sebagian sangat kecil orang--yang mungkin dianggap sudah hilang akal atau eksentrik tetapi mungkin benar karena tidak mabuk barang mewah--barang-barang tersebut hanyalah rongsokan yang dipuja-puja layaknya berhala. Barang-barang itu memang lebih nyata, lebih berkilau, lebih eksis, dan lebih dipuja-puja dari pada Tuhan sendiri bagi orang-orang modern. Jangan-jangan seiring dengan terus bergesernya konsep tentang tuhan--jika kita tidak mau munafik dan melihat sejarah--tuhan telah bertranformasi jauh lebih canggih menjadi A dan menjadi B.

Kembali ke iklan lowongan kerja yang banyak disebut iklan kecik, karena kecil-kecil dan banyak, aku mencoba menemukan yang sedang aku cari padahal aku tidak pernah tahu apa yang aku cari. Aku tidak pernah mencari A atau B, aku hanya bingung dan terus membaca iklan demi iklan. Kali ini aku yakin sedang mewakili banyak orang di republik ini, yang tidak pernah menyadari ingin menjadi A atau menjadi B, namun terserah nasib membawa kemana. Benar-benar berbudi luhur orang-orang jawa itu yang selalu meninggalkan pilihan pada orang lain agar orang lain senang dan sopan-santun tetap terpelihara.

Posting Komentar 0 komentar:

Posting Komentar