Beberapa waktu lalu, tidak begitu lama, nenek moyang kita
berjuang untuk mendapatkan makanan, dan hari
ini kita berjuang melawan hawa nafsu kita agar tidak makan terlalu
banyak. Makan untuk bertahan hidup, pada suatu waktu telah mengambil alih
kehidupan itu sendiri, manusia menghabiskan sepanjang waktunya untuk mencari
makan dan bertahan hidup. Hari ini manusia menghadapi persoalan yang jauh lebih
rumit, hidup bukan hanya tentang makanan, tapi juga tentang sampah, pemanasan
global, macet, kelangkaan energy, tarif listrik dan internet, kanker,
kemiskinan, hak cipta, ideologi, pornografi, korupsi dan banyak hal lainnya
yang dulu tidak pernah terlintas dalam benak nenek moyang kita.
Hidup mereka lebih berat dari hidup kita sekarang, namun
bukan berarti mereka lebih tidak bahagia daripada manusia modern. Manusia modern
dengan segala kemakmurannya lebih rentan terhadap musuh yang lebih sulit
dihadapi, yaitu dirinya sendiri, depresi, stress. Dulu hidup adalah tentang
makanan, sekarang hidup adalah tentang uang. Manusia modern menciptakan
mesin-mesin yang membuat mereka bekerja lebih cepat dan efisien, agar mereka
punya banyak waktu untuk bersantai seperti nenek moyang mereka, namun yang
terjadi adalah sebaliknya. Obsesi akan uang dan sukses yang telah dijejalkan
dalam otak mereka sejak kecil menyebabkan mereka tidak bisa berhenti bekerja. Mereka
bekerja lebih lama dan lebih keras lagi agar mereka bisa mengkonsumsi lebih
banyak, dan mereka tetap tidak merasa lebih bahagia. Mereka rela hidup dalam
stress, macet, polusi, untuk meraih sukses yang meskipun mereka enggan
menyebutkannya, sukses itu bernama uang. Satu-satunya pertanyaan yang relevan
ditanyakan oleh semua orang ketika bertemu kawan lama adalah ‘apa pekerjaanmu’
yang secara tidak langsung mengisyaratkan ‘berapa gajimu’. Bahagia, sukses, kaya, seolah sudah menjadi
doktrin agama baru, yaitu agama kenyamanan, agama universal yang dianut oleh
manusia modern melalui tananan dunia baru yang ternyata membuat manusia merasa
depresi dan terasing dari ketentraman batin. Manusia tidak lagi berdoa kepada
tuhan karena mereka yakin doa tidak bisa mengubah kemiskinan.
Beberapa abad lalu, Sokrates mengajarkan bahwa manusia
paling bahagia adalah manusia yang paling baik, karena tidak ada manusia yang
bisa bahagia dengan melakukan keburukan. Manusia yang melakukan keburukan hati
kecilnya akan menolak untuk bahagia. Namun ajaran itu tidak begitu terdengar di
abad ini. Orang sudah lupa bagaimana untuk berhenti sejenak dan mendengarkan
nasihat orang-orang bijak. Cinta mereka pada kenyamanan telah membuat mereka
menjadi obesitas dan korup.
Akhirnya, manusia berlari kencang untuk mengejar
kebahagiaan, dan ketika mereka melampauinya, kebahagiaan itu telah berubah
bentuk menjadi sesuatu yang lain. Dan manusia menjadi semakin depresi karena ia
harus mengejar sesuatu yang selalu berubah pada saat ia menggenggamnya, dan ia
tidak tahu lagi caranya berhenti. Dan terbuktilah bahwa kebahagiaan sepanjang
hidup manusia adalah jadwal yang menyibukkan.
Posting Komentar 0 komentar: