Friendship

Friendship
Friendship

Into the Wild

Adventure

Selasa, 15 Januari 2013

0 Hujan di Kota Lain



Musim hujan tiba beberapa hari yang lalu. Aku cinta hujan, mungkin karena aku tidak punya banyak pekerjaan. Setiap hujan turun, aku keluar dan menyaksikannya seolah itu hujan yang sudah ditunggu-tunggu selama satu tahun. Di sana selalu ada yang baru, ayam-ayam yang kedinginan, bekicot yang keluar dari persembunyiannya, sampah yang terbawa aliran air berputar tidak tentu arah. Hujan menyapu debu-debu di dedaunan, memandikan mereka dengan kasih sayang. Dan sekarang aku di sini sendiri, mesti teringat teman-teman yang pergi ke Jakarta mencari kebahagiaan. Mungkin mereka menemukannya mungkin juga tidak. Aku ingin mendengar cerita mereka, bukan sekedar berita bahwa mereka sudah menjadi pejabat, atau sudah punya anak dua. Aku ingin mendengar bagaimana mereka mengejar kebahagiaan, mendekapnya dan takkan melepaskannya lagi.
Ruang-ruang kelas baru saja kosong. Beberapa waktu lalu ruangan ini penuh cerita. Anak-anak SMA yang melihat dunia dengan cara yang jauh berbeda dengan orang dewasa. Mereka tertawa dan menangis dan meributkan hal-hal sepele. Aku ingin kembali ke masa itu dan mendengar pak guru bercerita tentang apa saja. Anehnya sekarang merekalah yang memanggilku pak guru, dan aku ingin bercerita pada mereka, menyelami pikiran mereka yang gundah karena ibu dan bapak bertengkar, uang SPP belum dibayar, pulsa hampir habis, pacar selalu cemburu tanpa alasan yang jelas. Manusia berbagi rasa dengan cerita.
Aku berbagi cerita dengan hujan. Ia selalu hadir untuk mendengarkan ceritaku. Kukatakan padanya, kenapa kita harus ketemu, saling berbagi dan kemudian berpisah. Kenapa kita harus mencari kebahagiaan di tempat lain. Apakah kebahagiaan tidak pernah datang ke mari dan mengetuk pintumu suatu ketika? Dan kemudian kau tidak pernah mengijinkannya pergi. Mungkin kebahagiaan sudah bosan lalu meninggalkan kita seperti halnya keberanian kita berlalu di bawah hujan mengejar capung yang hinggap dan terbang kembali. Apa yang merampas keberanian, mimpi-mimpi dan kejujuran kita? Ongkos menjadi dewasa adalah kehilangan segalanya. Aku pernah bermimpi memiliki sepeda, dengan sepeda itu aku bisa pergi ke mana saja, mengelilingi dunia kecilku yang bisa kupahami, dan akhirnya aku mendapatkan sepeda itu waktu sunatan. Selama seminggu sepeda itu kuletakkan di samping tempat tidurku, kupandangi setiap malam hingga terbawa dalam mimpi. Minggu berikutnya seiring waktu bejalan, segalanya sudah sangat berbeda. Kebahagiaan telah meninggalkan sepedaku, yang akhirnya menjadi sekedar besi dan roda yang dihubungkan dengan baut. Aku tidak mengerti.
Waktu kecil kita tidak bertanya kenapa, sekarang terlalu banyak pertanyaan, terlalu banyak ketakutan. Untuk apa hujan-hujanan, gunakan waktumu untuk bekerja dan bekerja agar sukses, dan orang-orang sudah tidak lagi mendengar suara dalam dirinya sendiri. Memang demikianlah hidup berlangsung dengan cepat dan panik, kita sedang membayangkan sebuah akhir yang tidak sukses dan tidak menyenangkan, dan manusia bergegas tanpa tahu kenapa.