Friendship

Friendship
Friendship

Into the Wild

Adventure

Rabu, 17 Februari 2010

1 Paninggaran

Malam semakin pekat, jalanan menjadi dingin di bawah naungan pohon-pohon pinus yang menjulang tinggi. Angin menggetarkan daun-daun jarum itu hingga tercipta suatu komposisi musik yang aneh dan khas.

Paninggaran, sebuah kota kecamatan yang indah, jalanan berkelok seperti ular yang merayap naik. Para penduduk desa bekerja sebagai buruh tani, penyadap getah pinus dan pemetik teh. Pada musim-musim tertentu mereka juga memetik cengkih.

Beberapa hari lalu rombongan mahasiswa mendatangi tempat itu untuk memberi pengajaran kepada anak-anak putus sekolah dan orang-orang tua yang tidak bisa membaca dan menulis. Kedatangan mereka diterima degnan baik oleh para perangkat desa yang merupakan kepanjangan tangan pemerintah. Oleh kepala desa Tenogo, salah satu desa di Paninggaran, mereka ditempatkan di dua rumah yang terpisah dari pemukiman utama yang menggerombol dengan pertimbangan tempat yang luas dan nyaman.

Para penduduk desa yang rata-rata berpendidikan rendah tidak begitu ambil pusing dengan datangnya para mahasiswa dari kota itu. Bagi mereka, jika mereka tidak bekerja hari itu, maka mereka tidak akan makan. Mereka adalah orang-orang sederhana yang tidak punya cita-cita yang tinggi yang membutuhkan membaca dan menulis. Pagi-pagi buta mereka berangkat ke sawah, pulang dari sawah hari sudah gelap. Mereka telah memeras keringat membanting tulang sepanjang hari. Satu-satunya yang mereka inginkan adalah bersantai di depan televisi mereka bersama keluarga sambil menikmati segelas teh panas.

Selepas Isya' tidak ada orang-orang yang berada di luar rumah karena suhu yang begitu dingin. Telelivi dalam hal ini adalah satu-satunya produk kapitalisme yang berhasil merebut hati mereka semua. Meskipun mereka miskin dan tidak mampu menyekolahkan anak-anak sampai SMP, namun mereka semua memiliki televisi berwarna berbagai merk.

Pada malam minggu para remaja kampung berkumpul untuk bermain rebana. Mereka kebanyakan juga berpendidikan rendah seperti para orang tua mereka, yaitu SD atau SMP. Mereka seperti hidup di kotak kaca, mereka tahu bahwa di luar sana ada kehidupan lain yang mungkin mereka impikan namun mereka tidak tahu bagaimana keluar dari kaca itu.

Kepala desa Tenogo adalah potret orang desa kebanyakan. Tubuhnya kecil dan pendek dengan gaya yang khas ketika berbicara dengan logat setempat dengan mata berkedip-kedip seperti orang tidak percaya diri atau tepatnya orang yang sedang takut.

Kepala desa itu mendapat simpati dari para mahasiswa karena sejak awal telah banyak membantu pegiatan para mahasiswa di desa itu, namun akhirnya mereka terlibat perang dingin yang mengakibatkan kepala desa itu memberi nilai jelek pada para mahasiswa...bersambung.